Pengalaman Tak Terlupakan
Oleh : Danisha Safia Rustandi
Siswa kelas V, SD Islam Tugasku
Halo, namaku Sarah Dyah Aswari. Kamu bisa memanggilku Sarah. Aku berumur sebelas tahun, dan aku tinggal di Jakarta. Lebih tepatnya lagi, di sini. Ya, di mana kamu dan aku berdiri, di rumahku. Mungkin aku terlihat seperti gadis normal, tapi teman-teman menjulukiku ‘ms. special’. Mengapa? Yah, mungkin mereka belum pernah bertemu dengan gadis super cuek sepertiku. Sudah dua kali aku membuat masalah disekolah. Tapi akan kuceritakan di lain waktu. Sekarang, lihatlah ke luar jendela. Kau lihat? Matahari bersinar cerah, tidak malu menyinari permukaan bumi. Teman-temanku memanggil-manggil di depan pagar rumah, melompat-lompat mengajakku bermain. Taman yang biasa kukunjungi seakan melambai, menyanyi, dan sangat menarik perhatianku. Pendek kata, hari ini adalah hari yang tepat untuk bermain. Tapi, pikiranku seolah berkata lain. Aku teringat sesuatu. Bayangan akan sebuah kepingan lensa. Kecil, tapi hal itu sungguh mengganggu pikiranku, dan perlahan mengusir rasa inginku untuk bermain.
Kamu tentu penasaran. Baiklah, mari kita kembali ke masa lalu untuk mengetahui penyebabnya..
***
“Sarah, coba ke sini sebentar!”
Aku yang sedang asyik mengobrol tersentak. Rupanya, yang memanggilku adalah Pak Mus. Ya, benar sekali, saat itu aku sedang berada di sekolah. Pak Mus adalah salah satu guru yang kurang disukai anak-anak di sekolah. Wajahnya memancarkan aura ketegasan, rambut beliau sedikit berantakan, dan beliau selalu mengajar dengan kemeja kesayangannya. Kemeja itu berwarna hijau dengan motif batik. Kabarnya, beliau sangat galak. Kalau beliau melihatmu berbisik sedikit saja saat jam pelajaran, dijamin penghapus papan tulis melayang ke arahmu. Apa? Kau bilang aku percaya gosip?! Tentu tidak. Baiklah, kulanjutkan ceritaku.
“Ya, pak?” dengan hati tidak ikhlas bercampur malas, aku menjawab dan menghampiri Pak Mus.
“Tolong ambilkan kacamata bapak diruang guru ya. Oh, tolong ambilkan buku mengajar bapak juga!”
Aaarrggh.. Pak Mus hanya baik kalau ada maunya. Sudah kuduga.
Nasibku berakhir seperti ini. Berjalan dengan malas ke arah ruang guru dengan tujuan hendak mengambil ‘harta karun’ milik Pak Mus. Sesampainya di ruang guru, aku menoleh ke kanan dan kutemukan kacamata beliau. Saat menoleh ke kiri pun aku dapat menemukan tumpukan buku yang diminta Pak Mus. Eh.. eh.. aku tak sengaja menginjak tali sepatuku yang tidak diikat dan bruk!Buku Pak Mus terjatuh. Parahnya, saat aku mencoba mengambil tumpukan buku yang terlepas dan jatuh berserakan, kacamatanya juga lepas dari tanganku dan entah lari kemana. Aku ambil satu persatu buku Pak Mus yang terjatuh, dan memegangnya erat-erat sambil mencari kemana jatuhnya kacamata itu. Aku coba melihat sekeliling untuk mencari kacamata itu. Dan “prak!” Oh, itu bukan suara yang bagus. Aku terus berharap dalam hati, semoga benda yang kuinjak bukanlah.. Oh, tidak! Aku sudah menginjak kacamata Pak Mus. Kulihat bentuknya tak beraturan. Lensanya pecah, dan gagang kacamatanya patah. Oke, cukup sudah aku direpotkan oleh Pak Mus. Bukankah Pak Mus bisa mengambil barang-barang ini sendiri? Kalau sudah begini, aku bisa mendapat masalah. Segera kuambil potongan kacamata Pak Mus, tapi tidak dengan lensanya. Aku tidak mau kepingan dan serpihan lensa itu melukai tanganku. Aku pun langsung berjalan dan kembali ke kelas.
“Sarah? Apa yang terjadi?” tanya Pak Mus dengan wajah heran bercampur rasa terkejut melihat kacamatanya hancur berantakan.
“Oh, saya tidak tahu, Pak! Waktu saya mau ambil kacamata bapak, memang sudah seperti itu!” jawabku ketus, sambil mengambil tas dan keluar kelas dengan perasaan sebal.
Oke! Pasti kamu bilang aku keterlaluan. Nah.. kan! Tapi anehnya, kini perasaan sebal itu bercampur perasaan bersalah. Pastilah ada juga perasaan takut. Aku tidak tahu, kenapa saat itu aku mengambil resiko besar. Bisa-bisa besok aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Tapi.. ah, biarlah Pak Mus sendiri yang menanggungnya.
Kriiing! Yes! Akhirnya bel tanda jam pelajaran terakhir berbunyi. Itu artinya aku akan terbebas dari jam pelajaran yang membelengguku seharian. Untung saja, aku tidak dipanggil ke ruang kepala sekolah.
“Sarah, bapak ingin bicara sebentar sama kamu”
Yaaah.. itu pasti Pak Mus. Dengan gontai dan hati berdebar, aku ikuti Pak Mus menuju ruang guru.
“Sarah, apa benar kamu tidak tahu-menahu tentang kacamata bapak yang rusak?”
Saat aku duduk, Pak Mus langsung menginterogasiku layaknya seorang polisi.
“Sa.. saya tidak tahu, Pak”
“Benarkah? Seingat bapak, hanya kamu yang bapak minta mengambil barang. Tidak ada anak lain, dan para guru pastilah memberitahu bapak kalau mereka tidak sengaja merusak kacamata bapak.”
Sungguh, kata-kata Pak Mus menusuk telingaku, dan membuatku jantungku berdebar kencang. Aku menunduk.
“Jujurlah, Sarah. Kalau bukan kamu yang berbuat, siapa lagi? Berbohong itu dosa, dan manusia yang banyak dosanya berakhir di neraka. Kamu mau masuk neraka, Sarah? Para pembohong akan dipotong lidahnya, dan dibakar dalam panasnya ne..”
“Baiklah, Pak! Saya mengaku. Saya memang pelakunya” segera kupotong kalimat Pak Mus. Menakutkan. Aku tidak ingin mendengar tentang neraka lagi.
“Kamu mengaku karena kesadaran sendiri atau karena takut, Sarah?”
“Ehmm.. emmm” aku hanya bergumam dan terdiam, tak tahu mau menjawab apa.
“Sudahlah, Sarah. Yang penting kamu sudah mengaku, dan sadar..”
Aku menyambar tas, segera keluar dari ruang guru dengan wajah memerah.
Aku terengah-engah. Senang, karena aku sudah sampai dirumah. Kuhempaskan diri di sofa ruang keluarga. Lega, karena terbebas dari Pak Mus. Aku melirik jam dinding, dan.. hei, sebentar lagi ibuku pulang. Ibu selalu bisa menghiburku saat aku sedih, walaupun ibu tak selalu setuju pada pendapatku yang ‘salah’.
Tin! Tin! Suara klakson mobil yang dikemudikan oleh ibuku. Aku segera membukakan pagar.
“Halo, Bu”
“Ya ampun, Sarah. Apalagi yang sudah kamu perbuat di sekolah?”
Eh? Aku tidak mengerti.
“Ibu mendapat SMS dari ibu kepala sekolah. Berita bahwa kamu merusak kacamata Pak Mus sudah tersebar di sekolah. Menurut ibu kepala sekolah, kamu pantas dihukum karena kamu tidak bertanggung jawab. Pokoknya, ibu tidak akan membantu. Kamu sudah besar, Sarah. Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus menanggung sendiri biaya untuk membeli kacamata baru untuk Pak Mus. Uangnya harus terkumpul saat pembagian rapot di akhir semester. Kalau tidak, nilai sikapmu akan menurun dan kau terancam tidak lulus..”
Astaga, apa aku tidak salah dengar? Aku tak percaya! Pastilah Pak Mus yang membeberkan semuanya. Sekarang, beliau benar-benar sudah membuatku memikul beban yang sangat berat, dengan harus mengumpulkan uang untuk mengganti kacamatanya yang rusak. Semakin hari, nasibku semakin buruk.
Hey, rupanya kau tahu dimana letak kamarku. Ayo kita berguling-guling di kasur bersama. Tidak? Baiklah.. Kamu bantu aku berpikir saja. Bagaimana caranya aku bisa mengumpulkan uang begitu banyak? Uang sakuku saja kalau dikumpulkan selama dua bulan belum tentu mencapai separuhnya. Apa kamu memikirkan apa yang kupikirkan? Ya, berjualan! Aku sangat suka pelajaran seni. Hemms.. mungkin aku bisa membuat beberapa prakarya. Yap.. Aku tahu apa yang akan kujual. Jepit-jepit lucu buatanku sendiri!
Aku pasang sebuah kertas di mejaku dengan selotip. Kertas itu bertuliskan:
ART SHOP
Menjual jepit lucu
3 ribu dapat 2
5 ribu dapat 4
Ya, mulai hari ini aku akan berjualan. Kemarin, aku mati-matian membuat banyak jepit itu. Meskipun aku sudah terbiasa, membuat banyak jepit memakan waktu yang lama. Aku sampai harus mengunjungi tiga toko untuk mendapatkan bahannya. Baiklah, kembali ke cerita. Untung saja hari ini tidak ada pelajaran Pak Mus. Jika beliau melihat kertas ini, dalam hati pasti beliau tersenyum, bisa membalasku. Sudahlah, aku harus berkonsentrasi pada pelajaran IPS ini. Aku hanya berjualan saat jam istirahat, agar tidak mengganggu pelajaran dan konsentrasi teman-teman.
Aku mengeluarkan nampan berisi jepit yang sudah kubuat kemarin. Ya, sekarang sudah masuk jam istirahat. Awalnya, teman-teman tidak ingin membeli, karena mereka tidak suka dengan sikapku yang terlampau cuek dan tidak bertanggung jawab. Lihat saja dikotak uang, sampai saat ini aku baru mengumpulkan sepuluh ribu. Kau ingin membeli? Waah terimakasih ya. Kau ingin warna apa? Ya, ini ada ungu dan biru. Oke, waktu istirahat sudah hampir selesai, aku berhasil mengumpulkan tiga belas ribu hari ini.
“Fuuuh..”
Aku sudah membuat satu nampan jepit rambut yang akan kujual besok. Sekarang aku punya dua nampan. Membayangkan bahwa dua bulan lagi aku harus mencapai target untuk membayar biaya pembelian kacamata Pak Mus, membuatku bergidik. Tadi siang, aku mendapat pesan dari kepala sekolah. Beliau terus mengingatkanku, Kalau aku sampai tidak bisa mencapai target, kemungkinan aku tidak lulus. Aku tidak mau melihat atau mendengar kata ‘tidak lulus’, karena sekarang aku duduk di kelas 6. Kalau tidak lulus, tentu itu akan sangat memalukan. Aduh, aku ingat, aku belum belajar untuk Ujian Provinsi! Apa kamu tahu dimana buku IPA ku?
Kuremas jariku. Keringat mengalir di wajahku. Ingin rasanya aku berteriak pada dunia ini. kenapa dunia tidak adil? Teganya membebankan ini padaku. Kau pasti sudah menduganya kan. Aku tidak berhasil. Aku hanya mencapai seperempat dari target. Meski sudah empat nampan jepitan ini kujual, tapi kekurangannya masih sangat banyak. Besok adalah hari pembagian rapor. Kau tahu, artinya besok aku harus menyerahkan uang untuk mengganti kacamata Pak Mus. Tidak ada jalan lain, ibu adalah satu-satunya harapanku.
“Tidak, ibu tidak akan membantu” ibu menolak saat aku memohon-mohon, meminta bantuan.
“IBU TEGA.. Aku bisa tidak lulus!” jeritku.
“Sarah, ingat! Kamu menumpahkan masalah ini pada Pak Mus tanpa mau membantu, peduli, atau bertanggung jawab. Kini, rasakanlah sendiri bagaimana rasanya tidak dibantu, tidak dipedulikan”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku tertegun. Apa aku pantas menerima semua ini? Sepertinya Tuhan memang meng ‘iya’ kan semua ini, dan sepertinya aku masih harus bersabar duduk di kursi kelas 6 lagi.
Aku menggigit bibir saat menyerahkan uang itu pada Pak Mus. Aku pasrah. Aku siap dengan apapun komentar pedas yang akan keluar dari mulut beliau.
“Sarah.. Ini luar biasa!” Pak Mus menepuk pundakku, memasang senyum.
Eh.. apa aku tidak salah dengar? tanyaku dalam hati.
“Bapak hargai sikapmu yang sudah mau berusaha”
Pasti beliau akan berkata “tapi..” gerutuku dalam hati.
“Kau simpan saja uangnya” sambil mengembalikan uang yang baru saja kuberikan.
“Haaah..” jujur, aku kaget. Mulutku menganga lebar karena tak percaya. Mungkin sapi pun bisa masuk ke dalam mulutku..
“Bapak bercanda ya?”
“Tidak. Sebetulnya Bapak hanya ingin mengajari kamu sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan dari buku pelajaran. Pengalaman seperti inilah yang memberikan kamu pelajaran secara langsung”
“Bapak, saya tidak enak. Uang ini Bapak simpan saja..”
“Bapak sudah membeli kacamata baru kok, tenang saja.” beliau memegang dan menunjukkan kacamata baru yang dipakainya. “Benar, ini kacamata baru!”
“Bapak, bagaimana saya harus berterimakasih sama Bapak?” aku tidak menyangka, ternyata Pak Mus tidak seburuk dan sejahat yang yang kubayangkan. Ternyata ada guru sebaik ini. Menghargai kerja kerasku walaupun tidak mencapai target, dan uangnya tidak diambil pula!
“Kau lulus Sarah, kau lulus dengan nilai istimewa!” Pak Mus memperlihatkan raporku. Hampir semua angka di buku hijau itu adalah seratus dan sembilan puluh. Tidak ada nilai delapan puluh. Setitik pun tidak ada.
“Bukan hanya lulus dengan nilai sangat baik, Sarah. Kau juga lulus menjadi pribadi yang lebih baik” Pak Mus mengangguk dengan bangga, lalu mempersilakanku keluar.
Aku keluar dari ruang guru dengan perasaan berbunga-bunga. Rasanya masih ganjil, tetapi di lain sisi aku bahagia karena bisa lulus, dengan nilai yang bagus pula! Hemms.. Selalu ada pelajaran yang bisa kita petik dari setiap pengalaman. Tentu kamu tahu pelajaran dari pengalamanku yang mengesankan ini, bukan? Sampai jumpa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H