Mohon tunggu...
DYTA UTARI
DYTA UTARI Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

* DYTA UTARI. Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya—dengan nama pena Dee Hwang—merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Harimau Dalam Identitas Kultural Masyarakat Lahat

9 Desember 2024   21:31 Diperbarui: 9 Desember 2024   21:43 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Catatan puyang 9 beradek (ilustrasi / Dokumentasi pribadi)

Predator puncak, dalam fungsi ekosistem, merupakan spesies kunci. Dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh WCS Indonesia tentang Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), hilangnya harimau dapat mengganggu rantai makanan dan mengakibatkan lonjakan jumlah populasi di bawahnya. Dengan kata lain, keberadaannya penting untuk menunjukkan apakah suatu ekosistem dapat dikatakan seimbang atau tidak. Sayangnya, IUCN telah mengkategorikan satwa liar ini dalam status 'critically endangered', atau dalam status konservasi kritis. Spesies penting ini telah masuk dalam kategori mendekati kepunahan, akibat lanskap habitatnya yang mengalami penurunan kualitas selama 10 tahun terakhir. Bagaimana bisa terjadi, jelas sejalan dengan penjelasan dalam bab Conservation of Biological Resources: Why Does It Matter? yang disusun oleh Castro, dkk untuk buku Biodiversity and Education for Sustainable Development (2016)---bahwa penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati adalah kehilangan habitat yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Keberadaan Harimau tidak hanya penting dari sudut pandang ekologi, tapi juga bagaimana manusia memegang identitas kelompoknya. Dalam suatu kunjungan pribadi saya, ketika berupaya melengkapi catatan silsilah keluarga dari pihak Ibu saya yang berasal dari Kikim -- Lahat, Sumatra Selatan, Wak saya, orang yang dituakan dalam keluarga, setelah menceritakan tentang salah satu Puyang kami, menitipkan pesan begini : Dek kene bejalan bedue ngan linjangan di utan, kele Nineng purek. Kele laju Nineng melumpat di adapan kamu (jangan berjalan berduaan dengan pacar / lelaki yang belum muhrim di hutan, nanti Nenek marah. Nanti nenek melompat di hadapan kalian berdua (dalam konteks bukan mencelakai saya, tapi untuk memberi peringatan ke si lelaki)). Ada juga penceritaan tentang Puyang saat memberikan restu pada apapun niat atau cita-cita yang ingin dikejar keturunannya. Misalnya, tentang kakek saya, di mana dulu, beberapa warga pernah menyaksikan Puyang duduk di anak tangga rumah panggung kami di dusun. Kehadirannya menjadi semacam restu atas niatan si kakek untuk menjadi guru di sebuah pesantren dulu.

Sedari kecil saya memperoleh cerita yang sama. Saya lahir dalam keluarga yang, dalam batang genealoginya telah dilisankan secara turun-temurun, sebagai keturunan dari Puyang yang sosoknya dipercaya mampu mengubah diri menjadi 'harimau'. Ada kepercayaan kuat bahwa melanggar norma tertentu dapat berujung malapetaka, atau keputusan hidup kami baiknya terhubung dengan 'perlindungan' dan 'petunjuk' dari totem yang kami hormati ini. Ia ditempatkan dalam posisi leluhur dengan sebutan Nineng (nenek) atau Puyang atau Setue (yang dituakan).

Bagian ini dibicarakan dengan sangat hati-hati, penuh ketakziman. Kepercayaan ini dipegang turun-temurun, tanpa membenturkan pandangan keilmuan lain. Unsur-unsur keislaman tersisip di dalam pembicaraan kami hari itu. Seperti Wak saya yang merujukkan beberapa potong surat Alquran yang dipercaya ampuh membelokkan niat jahat seseorang, serta nasehat-nasehat religius lainnya yang dimuatkan dalam petatah-petitih, setelah menjelaskan bahwa pada zaman dahulu orang-orang asli dusun tidaklah pandai---merujuk perbandingannya dengan kecerdasan bangsa penjajah---namun beakuan, salah satunya lewat kepemilikan ajian-ajian pemanggil, yang hanya dikuasai oleh jeme baghi. Sager, Steven (2008) dalam tesisnya The Sky is our Roof, The Earth our Floor, mereferensi istilah ini untuk shaman's familiar spirits. Dalam artian tulisan saya ini, beakuan dapat dimaksudkan memiliki keakraban/kemampuan berinteraksi pada roh leluhur.

Totem, dalam Totem and Taboo (1913) karya Sigmund Freud, secara umum merupakan hewan, baik yang dapat dimakan dan tidak berbahaya, maupun yang berbahaya dan ditakuti; lebih jarang, berupa tumbuhan atau kekuatan alam (seperti hujan atau air) yang memiliki hubungan khusus dengan seluruh klan. Totem dianggap leluhur suku, roh pelindung, dan penjaga, yang memberikan pertanda dan, meskipun biasanya berbahaya, ia mengenali dan melindungi 'anak-anaknya'. Kepercayaan menyoal totem ini mencerminkan pemahaman penting masyarakat tentang pola-pola alam di sekitarnya. William Marsden, F. R. S dalam buku kesohornya, The History of Sumatra, menyatakan bahwa ulah yang dilakukan harimau berakibat sangat besar, seluruh desa sering mengalami depopulasi akibat ulah harimau, sedangkan mereka yang menderita belajar memujanya karena kekuatan supranatural dianggap bisa mengendalikan amukan musuh yang tidak bisa mereka lawan. Namun benarkah kehadiran harimau adalah untuk merusak, sehingga manusia sebegitu tidak berdayanya hingga mesti menceburkan diri dalam gagasan kosmologis-irasional? 

Puyang, dalam buku 'Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatera Selatan' yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993) dianggap sebagai leluhur atau moyang, yang menjadi cikal bakal sejumlah suku menjadi kesatuan sosial (Jurai) atas kesamaan asal. Puyang dihormati, diyakini, dan diselimuti dalam kisah-kisah kekuatan gaib karena para Puyang dianggap keturunan dewa / dewa yang diturunkan. Terikat dalam hubungan genealogis seperti ini jelas memberikan sudut pandang yang berbeda bagi saya. Penilaian saya terintegrasi dengan kepercayaan tersebut, dimana saya menghormati keberadaan satwa harimau dalam derajat yang jauh berbeda, alih-alih merasa ngeri. Ini akhirnya berlaku pada cara saya memandang apa-apa yang ada di sekitar saya, mempengaruhi laku saya dalam memandang hidup dan bagaimana menjalani konsep berkelanjutan di dalamnya. Setiap sumber yang saya temui memang memberikan cerita yang terkesan kriptik, duduk dalam wilayah percaya tidak percaya, namun kenyataannya adalah ini memberikan identitas atas kelompok saya, bila harus dikatakan begitu, yang ikatannya meresap dalam, bahkan secara spiritual.

Selama ratusan tahun belakang, ditelaah sebagai salah satu bentuk kearifan lokal, keterhubungan spiritual masyarakat pada leluhurnya ini, telah menjadi bentuk langkah konservasi terhadap alam. Harimau dan manusia digambarkan hidup berdampingan dengan mematuhi norma-norma yang diturunkan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai yang dikandung itu terikat secara emosional, mengendap sebagai sesuatu yang berharga. Kepercayaan akan keterikatan religius antara manusia dengan alam juga hidup hampir di sebagian besar cerita masyarakat uluan di Sumatera Selatan. Tidak hanya harimau. Beberapa suku ada juga yang memercayai Puyangnya memiliki keterhubungan dengan macan, ular, buaya, dan sebagainya.

Strang dalam Febrianto (2016), dalam buku Antropologi & Ekologi : Suatu Pengantar, menyatakan bahwa manusia dituntut menjaga keserasian hubungan dengan lingkungannya. Manusia menyadari betapa kesejahteraan hidup mereka disokong dari hubungan dengan alam, dan bagaimana selanjutnya mereka menggiring kesadaran, bahwa kegiatan mereka turut membangun corak tertentu bagi alam tersebut. Dengan kesadaran ini, manusia dihadapkan pada tanggung jawab etis untuk menjaga keseimbangan alam yang telah ditetapkan oleh hukum-hukum kausalitas alamiah.

Tanggung jawab etis masyarakat lokal diejawantahkan dalam nilai-nilai tradisional mereka. Sehingga pada akhirnya, apa yang dipegang oleh suatu kelompok masyarakat atas nama tradisi itu, dapat memuat nilai konservasi ekologis pula. Contohnya arca megalitik seperti arca tunggal harimau di situs Tanjung Sirih, Kabupaten Lahat, juga arca macan kawin di Pagaralam, yang berkait erat ceritanya dengan pelarangan tindak asusila manusia seperti yang sudah saya ulas di bagian awal. Suryani dan Sandi (2018) dalam jurnalnya bertajuk Konsep Kosmologi Masyarakat Prasejarah Tanjung Sirih Kabupaten Lahat Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah, menjelaskan bahwa masyarakat tempo dulu cenderung ekosentris. Ini ditunjukkan dari pelibatan figur manusia dan hewan dalam hampir sebagian besar megalit yang pernah ditemukan, juga arah hadap batu-batu besar itu yang menunjukkan kecenderungan nilai ekologis (seperti menghadap sungai atau wilayah perbukitan).

Usaha-usaha "menjadi serasi" dengan alam ini tidak cuma dibangun dari ide-ide berbasis mental-spiritual. Ini diserap juga oleh nenek moyang masyarakat Lahat lewat arsitektur Dangau (pondok kebun yang letaknya dekat hutan) dan Rumah Baghi, yang didesain untuk beradaptasi dengan keberadaan satwa liar (dibangun dengan ketinggian tertentu, yang pada masanya berguna untuk mengimbangi diri kalau-kalau ada satwa liar yang masuk ke wilayah manusia) juga iklim, dimana sirkulasi udaranya menggunakan ventilasi alami sehingga jelas mengurangi konsumsi energi. Penggunaan material lokal dan ramah lingkungan juga memungkinkan pengurangan jejak karbon, dari pengangkutan material.

Tanggung jawab etis juga tercermin dalam penggunaan petuah-petuah dan petatah-petitih, yang secara tidak langsung dapat mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati. Garret Hardin dalam The Tragedy of Commons-nya, mengatakan bahwa masalah-masalah populasi tidak memiliki penyelesaian teknis; mereka membutuhkan sebuah perpanjangan fundamental dalam moralitas. Kehadiran tradisi semacam ini dapat membangun kesadaran itu. Bagi masyarakat Lahat umumnya, penggunaan petatah-petitih dalam percakapan biasa dilakukan. Salah satu corak yang saya temukan di dalamnya adalah bagaimana masyarakat lokal menyerap alam sebagai formulanya, untuk kemudian digunakan dalam nasehat-nasehat tentang bagaimana berinteraksi dengan alam sekitar, termasuk kepada sesama manusia. Contohnya 'Jangan beburu setue', yang artinya jangan berburu harimau, lebih ditujukan untuk kesadaran seseorang akan kekuatan dirinya sendiri, untuk memahami siapa yang dilawannya, dan 'Nebang batang nanam mughak' yang berarti menebang pohon menanam biji, yang dimaksudkan untuk perilaku tabur tuai---bahwa sebaiknya berpikir dahulu sebelum bertindak, karena akan ada penyesalan bila hal yang dilakukan itu buruk.

Membentuk mentalitas peka lingkungan dimulai dari kepemilikan nilai-nilai etis. Kesadaran itu dibangun lewat pembiasaan narasi yang hendaknya dapat dirasukkan lewat pendidikan sedari dini. Inilah fondasinya---kesadaran identitas. Identitas ini dapat memperkuat motivasi seseorang untuk mendukung pelestarian spesies karena adanya keterhubungan emosional dan historis. Siapa saya, berasal dari manakah saya, menjadi sangat penting mengingat laku sembrono kita sebagai manusia selama ini kepada alam sekitar.

Terbangunnya kesadaran individu dalam menghayati lingkungan---bahwa manusia tidak bisa lepas dari alam---akan melahirkan kemauan mandiri dalam menelaah orientasi pemanfaatan lingkungan yang sehat. Ini akan menjadi penting bagi seseorang yang berniat untuk terjun langsung menghadapi masalah lingkungan, di masa depannya; selain membiasakan diri dengan ruang-ruang dialog untuk akses informasi terbaru seputar lingkungan (Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia dapat menjadi pilihan terbaru belakangan ini) dan terjun ke pekerjaan yang lebih praktikal-personal, yakni hidup berkesadaran sedari lingkup keluarga batih, seseorang bisa melibatkan diri dalam transformasi narasi, tradisi, atau cerita lisan ke bentuk-bentuk arsip yang gampang diakses.

Sebagai seorang penulis, saya sering menemukan promosi pelestarian lingkungan dalam sastra tulis. Berbasis pengetahuan masyarakat lokal tentang Harimau, Indonesia memiliki penulis-penulis seperti Mochtar Lubis, Guntur Alam, Eka Kurniawan, sampai Motinggo Busye.  Hampir sebagian besar karya membebankan jalan cerita dalam kacamata moral, bahkan tak segan menawarkan dimensi-dimensi berlawanan namun bersilurus sebagai sebab (ekologi-kosmologi). Dalam Soni Sukmawan (2016), Ekokritik Sastra : Menanggap Sasmita Arcadia, Sastra ekosentris dan pembacaan sastra bersentra ekologi dianggap mampu menjelaskan, bahwa sastra merupakan produk kreatif alam dengan memposisikan manusia bukan sebagai pusat, melainkan menjadi bagian integral di dalamnya. Namun, perlu diperhatikan bahwa sastra lingkungan dapat menjebak penulisnya sendiri dalam tulisan-tulisan yang cenderung didaktik dan menggurui---yang mana justru bisa menghambat penyebaran isu lingkungan itu sendiri. Dibutuhkan cara yang inovatif dan segar untuk menggambarkan dunia alam (Iman Al-Khalidi (2023) dalam Environmental Literature and The Importance of Nature In Writing). Apa gunanya bila informasi itu penting namun tulisannya justru membosankan, bukan?

Beruntungnya, media sosial kini telah memungkinkan jangkauan yang lebih luas dan interaksi yang lebih partisipatif, disokong pula dengan kecepatan distribusi informasi. Seseorang tidak hanya bisa menulis, tapi juga bisa memproduksi konten edukatif yang menarik atau menggunakan platform tertentu untuk berbagi cerita, foto, atau video terkait. Dalam presentasi berjudul 'Melawan Kehilangan Keanekaragaman Hayati Indonesia', yang disampaikan oleh Prof. Satyawan Pudyatmoko dalam Forum Bumi (diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia), ditekankan pentingnya upaya perlindungan keanekaragaman hayati melalui kerangka kerja Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework. Kegiatan dokumentasi komprehensif dapat sejalan dengan prinsip global goals 2050 : 'Living in Harmony with Nature', sebagaimana diamanatkan oleh kerangka tersebut, yakni partisipasi masyarakat secara inklusif. Pada akhirnya, kehadiran dari sastra tulis, pembuatan konten bermutu, pemanfaatan aplikasi mobile, dapat menjadi jejak arsip atas pemahaman---dan penguasaan pengetahuan atas---tradisi dan ekspresi lisan masyarakat lokal, yang kelak berguna dalam menjaga alam.

Pembenahan atas kerusakan habitat satwa liar sejatinya membutuhkan sinergitas dari berbagai aspek dan pemangku kepentingan, sebagaimana dilansir dari artikel Mongabay berjudul 'Panas Bumi di Sumatera Selatan, Antara Energi Bersih dan Habitat Harimau (2024)' bahwa panas bumi adalah salah satu energi terbarukan, namun kegiatan alih fungsi lahan dan deforestasi areal tapak untuk pengoperasiannya dapat saja mengganggu, salah satunya, habitat bagi Harimau Sumatera sendiri.

Ada petitih yang dikatakan Wak saya sebelum kami mengakhiri percakapan kami tentang Puyang : Dek tau ngiluk'i, jangan merusak jadilah, yang artinya bila tak mampu memperbaiki, cukuplah untuk tidak merusaknya. Ini menjelaskan bahwa sebagai manusia, kita mesti menyadari potensi diri kita sebagai sumber masalah, sehingga wajib membikin batasan. Bila karena kesembronoan manusia harimau jadi menghilang dari jagad hutan, maka hilang pula identitas kami---ini seperti menghadapi kenyataan bahwa kota Lahat, di masa depan, bisa saja kembali pada definisinya yang ansich; dikenang bukan dari sisi historisnya akan satwa-satwa identitas, melainkan sebagai kota liang, yang mengubur semua identitas manusianya dalam sejarah kecerobohan yang buruk.

Jauh, lebih buruk.

*

DYTA UTARI. Seorang Pekebun, dikenal juga sebagai Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya---dengan nama pena Dee Hwang---merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021). Kegiatannya dalam konsep hidup berkelanjutan didokumentasikan di Instagram & Threads : @hellodeehwang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun