Mohon tunggu...
DYTA UTARI
DYTA UTARI Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

* DYTA UTARI. Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya—dengan nama pena Dee Hwang—merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Balur: Teknik Pengolahan Ikan Sampah dari Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan

3 Desember 2024   11:28 Diperbarui: 3 Desember 2024   11:35 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungai Lematang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Sebagai salah satu bagian dari Batanghari Sembilan (sebutan untuk Sembilan sungai besar di Sumatera Selatan), sungai ini tidak hanya hadir sebagai ikon, namun juga urat nadi kehidupan masyarakat setempat. Kebudayaan masyarakat Lahat hampir sebagian besar berkaitan erat dengan kehadiran sungai ini---termasuk makanan tradisionalnya. Balur, adalah salah satu contoh dari pemanfaatan ikan dari sungai tersebut.

Balur merupakan olahan / pengawetan ikan menjadi ikan asin. Kata Pundang, menjadi sebutan yang dipakai orang zaman baghi (zaman dahulu). Kata ini sudah jarang dipakai di kabupaten Lahat, sehingga di pasar, umumnya masyarakat menggunakan kata Balur, terlepas dari ukuran ikan yang diolah. Namun ini berbeda dengan masyarakat Musi Banyuasin. Dari buku yang ditulis Helmi Haris (2018) tentang Pundang Seluang, sebutan Pundang digunakan untuk ikan asin berukuran kecil, sementara Balur digunakan untuk ikan asin menggunakan ikan-ikan berukuran besar. Kata Pundang juga digunakan oleh masyarakat Kalimantan Tengah, yang berarti penggaraman ikan atau daging yang dijemur dengan sinar matahari hingga keringnya merata. Ini membuktikan adanya pengaruh yang diadopsi sebagai hasil interaksi antarwilayah, yang sekalipun berbeda-beda namun konteksnya tetap sama, yakni merujuk pada proses atau hasil pengawetan produk hewani (ikan) menggunakan garam dan pengeringan matahari.

Saya biasanya membuat Balur ketika sediaan ikan melimpah. Biasanya, jenis ikan yang saya gunakan adalah ikan sampah. Penyebutan ikan sampah berasal dari jenis-jenis ikan yang dulunya tidak digemari masyarakat di Sumatera Selatan untuk diperjualbelikan (karena ukurannya yang kecil). Ikan-ikan ini adalah spesies familiar yang sering saya jumpai ketika kecil, saat menemani ayah saya menjala di Sungai Lematang. Saya suka memakannya sejak dulu karena ikan yang baru ditangkap dari sungai dagingnya akan terasa manis.

Pada Mei 2024, saya mendapatkan ikan-ikan sampah ini dalam jumlah banyak dari salah satu pasar tradisional di Kabupaten Lahat. Harganya murah sekali. Perkilonya hanya Rp10.000. Ikan-ikan ini dijual dengan harga miring, tidak dibedakan perspesiesnya, melainkan merupakan campuran hasil tangkapan nelayan karena ayek dang kecik---sebutan untuk air sungai yang mengecil karena memasuki musim kemarau atau penghujung musim hujan, masa yang disebut juga sebagai pangkal taun / awal tahun, yang didominasi oleh ikan Seluang (Rasbora sp.), Kepiat (Barbonymus schwanenfeldii), dan ikan-ikan kecil lainnya. Ini menjadi fenomena setahun sekali, dimana ikan-ikan ini, terutama Seluang, disebut sedang mudik, yang oleh masyarakat Lahat bahkan Sumatra Selatan menyebutnya sebagai Seluang Mudik. 

Ikan-ikan yang saya beli ini sebagian saya konsumsi harian, sebagian lagi saya awetkan menjadi Balur. Pembuatan Balur sangat sederhana. Prosesnya terdiri dari penyiangan, penggaraman, dan penjemuran. Penyiangan dilakukan untuk membersihkan organ dalam yang tidak diperlukan. Di fase ini, tubuh ikan dibuka dan dibuat  menyerupai sayap kupu-kupu. Setelah ikan dicuci bersih, ikan diBaluri dengan garam halus dan ditatah di atas tampah. Penjemuran dilakukan selama empat hari. Setelah berubah warna menjadi kecoklatan, ikan bisa disimpan dalam wadah dan dapat bertahan hingga setahun ke depan.

Balur, sebagai bagian dari pengetahuan historis masyarakat, dapat diolah menjadi berbagai macam masakan lokal. Rasanya yang tidak terlalu asin setelah dicuci, membuatnya cocok diolah dalam makanan kuah atau tumisan. Di rumah, saya biasanya membuatnya menjadi ikan asin goreng, ditumis dengan sayur hasil kebun, disambal dengan kabau, dijadikan pelengkap untuk kuah atau pepes tempoyak. Setelah diolah, ajaibnya, rasanya jadi lebih legit, kenyal, dan kualitas dagingnya tak kalah enak ketika ia masih menjadi ikan segar. Ini sebagaimana yang dijelaskan George M. Hall (2011) dalam Fish Processing: Sustainability and New Opportunities, yang menjelaskan tentang rasa ikan yang diawetkan dengan garam berkembang selama masa penyimpanan karena aksi protease dan lipase, dikombinasikan dengan oksidasi lipid melalui serangkaian interaksi kompleks. Kombinasi yang berbeda ini menghasilkan rasa dan tekstur pada produk akhir, menambah variasi pada pola makan.

Adawiyah (2006) dalam buku Pengolahan dan Pengawetan Ikan, mengungkapkan bahwa pengeringan ikan adalah salah satu cara pengawetan paling mudah, murah, dan merupakan cara pengawetan yang paling tertua. Pengawetan ikan dilakukan manusia untuk menghentikan proses degradasi kualitas bahan, dan metode penjemuran dan pengaraman adalah yang paling umum dilakukan. Pengawetan ikan dengan pengeringan, berbeda-beda aplikasinya tergantung jenis spesiesnya. Dalam The Role of Dried Fish: A Taphonomical Model of Fish Butchering and Long-Term Preservation oleh Oleh Irit Zohar dan Richard Cooke, sebuah studi etnografik yang dilakukan pada 2019, mengungkapkan beberapa cara tradisional masyarakat di beberapa wilayah di dunia dalam proses pengawetan ikan ini seperti pemotongan kepala ikan, pembuangan tulang (fillet), atau potongan berbentuk seperti kupu-kupu. Dalam 'Pengembangan Pangan Lokal mendukung Ketahanan Pangan Berkelanjutan', yang diterbitkan oleh BRIN pada tahun 2023 dalam judul 'Diversifikasi Pangan Lokal Untuk Ketahanan Pangan', Dina Omayani Dewi dan Mewa Ariani memasukkan pengeringan ikan sebagai salah satu contoh penerapan teknologi pangan untuk pengolahan bahan pangan lokal guna meningkatkan nilai tambah, daya simpan, dan kualitas produk. Pengawetan ikan sebagai Balur pada akhirnya tidak hanya merupakan cara cerdas masyarakat lokal dalam menyiasati ketidaksediaan ikan ini di pasar, namun juga dapat menjadi langkah dalam mengelola hasil alam secara berkelanjutan.

Proses pengawetan tradisional adalah langkah menuju pengolahan ikan yang lebih berkelanjutan dibandingkan dengan proses pengawetan ikan secara modern. Ini disampaikan dalam nada yang sama dari sudut pandang berkelanjutan oleh George M. Hall (2011), bahwa pengawetan ikan secara tradisional dapat menghilangkan kebutuhan atas satu perlakuan yang membutuhkan energi lebih tinggi. Pengawetan ikan didasarkan pada teknologi paling sederhana, selaras dengan konsep eco-efficiency, karena pengelolaan secara modern---meski dapat meningkatkan kualitas dan konsistensi kualitas produk---membutuhkan biaya yang terkait dengan ketergantungan pada listrik sebagai sumber energi untuk pengeringan, atau pun metode pengawetan lainnya seperti pengasapan dan pembekuan.

Kehadiran Balur juga berkaitan erat dalam usaha penganekaragaman atau diversifikasi pangan, yang dalam UU. No. 18 tahun 2012 didefinisikan sebagai upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. Eko Sutrisno dalam Diversifikasi Pangan Lokal Untuk Ketahanan Pangan (diterbitkan BRIN, 2023) menyatakan diversifikasi pangan dapat mewujudkan ketahanan pangan dengan cara pengembangan keanekaragaman bahan pangan lokal. Dijelaskan pula bahwa pemilihan dan pengembangan pangan berkelanjutan, seperti pangan organik, pangan lokal, atau pangan dengan jejak karbon rendah, dapat mempromosikan penggunaan yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Di dalam laporan tersebut, ikan asin menjadi salah satu bahan pangan lokal di Indonesia yang sekiranya dapat dimanfaat dalam keadaan darurat, selain tempe, bambu, petai, buah-buahan lokal, dan sebagainya.

Ikan Seluang dan Kepiat termasuk sebagai ikan musiman (tidak setiap hari tersedia dalam jumlah berlimpah di pasar). Sediaannya tergantung pada waktu tertentu. Di Kabupaten Lahat, ikan lokal ini tidak dipelihara secara umum, dan ditangkap secara liar langsung dari habitatnya oleh para nelayan menggunakan alat tangkap tradisional seperti Jale Kerap, Tangkul, Bubu, atau alat penangkap manual lainnya. Hattersley, dkk (2020) dalam buku Biodiversity, Food, and Nutrition: A New Agenda For Sustainable Food Systems, menyampaikan bahwa pangan liar dapat memiliki kandungan nutrisi dan komponen pangan yang jauh lebih kaya dibandingkan dengan banyak spesies domestikasi, karena cenderung tahan terhadap kondisi lingkungan yang keras dan memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada kepadatan nutrisi dalam pola makan sepanjang tahun, asalkan tersedia, aman, dikonsumsi dalam jumlah cukup, dan nutrisinya dapat diserap tubuh. Ini tanpa terkecuali untuk ikan liar sendiri. Selain itu, keberadaan ikan liar dapat menjadi indikator biologis di ekosistem terkait. Gene S. Helfman (2007) menyatakan bahwa meskipun ikan memiliki nilai instrumental terbesar sebagai komoditas, mereka juga memenuhi kebutuhan manusia sebagai penyimpan informasi tentang lingkungan. Mengapa?

Menyoal keanekaragaman hayati, ini juga menjadi peran tak kalah penting dari ikan-ikan liar di habitat aslinya. Ikan, seperti makhluk lainnya, merupakan bagian dari ekosistem yang lebih besar. Ia bisa menjadi hewan indikator untuk predator di atasnya, yang kelimpahannya dapat diartikan sewaktu-waktu sebagai ledakan populasi ketika populasi pemangsanya menurun. Atau dalam kasus ekstrem---sebagaimana disampaikan Gene S. Helfman (2007)---kematian masal ikan memberikan peringatan dini tentang kondisi kualitas air yang dapat memengaruhi kesehatan manusia. Kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan, perubahan iklim, perusakan habitat asli karena aktivitas pertambangan batubara, dapat mewujudkan hal buruk itu. Bagaimana menjaganya? Salah satu langkah menjaga keseimbangan ekosistem yang dilakukan masyarakat Lahat, senada dengan pernyataan Richard A. Niesenbaum (2019) dalam The Integration of Conservation, Biodiversity, and Sustainability. Yakni bahwa budaya-budaya adat telah diakui secara luas telah mengembangkan gaya hidup yang lebih selaras dengan tujuan keberlanjutan, dan dalam banyak kasus, memiliki pemahaman yang mendalam tentang penggunaan dan manfaat yang diberikan oleh keanekaragaman hayati. Masyarakat Lahat telah mengadopsi ini jauh hari---preferensi penangkapan ikan-ikan sampah yang dilakukan intens justru setelah debit sungai mengecil, sampai penggunaan alat-alat tangkap tradisional di lapangan, adalah beberapa contohnya.

Pada akhirnya, ini tidak hanya persoalan persepsi rasa di indra pengecap belaka, namun rasa memiliki karena kebutuhan untuk 'terkoneksi' juga sama pentingnya. Misalnya, dalam pembuatan Balur, ikan-ikan yang digunakan umumnya adalah dari ikan sampah, seperti dari spesies Seluang atau Kepiat. Ikan ini tidak hanya dikenali dalam fungsinya memenuhi kebutuhan konsumsi saja, tapi juga sebagai identitas yang melekat pada masyarakat setempat. Kepedulian masyarakat Lahat akan ikan-ikan ini diimplementasikan dalam lagu-lagu daerah---Seluang Negok Tapah (Seluang yang hendak menelan Tapah / jenis ikan besar, penggambaran sesuatu yang mustahil), dan Petanglah Petang (dimana liriknya berbunyi 'Kepiat belinang-linang, mati disambar burung binti' yang artinya Kepiat yang bergerak-gerak di air, disambar oleh sejenis burung pemakan ikan)---yang masing-masing lirik pada kedua lagu itu mengungkapkan proses ekologi dalam kehidupan ikan-ikan tersebut. Ini menjadi rasa ungkap, yang bila dihubungkan dengan referensi menarik dari Fish Conservation: A Guide To Understanding and Restoring Global Aquatic Biodiversity and Fishery Resources oleh Gene S. Helfman (2007), terutama tentang bagaimana meyakinkan publik soal pentingnya keanekaragaman hayati terutama ikan, dapat kita gambarkan sebagai 'pemahaman dan penghargaan terhadap nilai keberagaman hayati yang bersifat non-utilitarian'.

Ini berarti bahwa menghargai keanekaragaman hayati---terutama ikan-ikan lokal atau endemik---seharusnya bukan semata-mata karena manfaat praktis atau nilai ekonominya bagi manusia, tetapi karena keberadaan makhluk hidup itu sendiri yang memiliki nilai intrinsik. Dengan kata lain, menikmati Balur bagi masyarakat Kabupaten Lahat, bahkan Sumatera Selatan, adalah lebih dari pemenuhan kebutuhan selera makan, tapi juga untuk membuang jauh kehambaran identitas; pengakuan, bahwa manusia adalah satu kesatuan dengan alam sekitarnya.

*

DYTA UTARI. Seorang Pekebun, dikenal juga sebagai Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya---dengan nama pena Dee Hwang---merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021). Kegiatan dan hasil berkebun didokumentasikan di Instagram & Threads: @hellodeehwang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun