Menyoal keanekaragaman hayati, ini juga menjadi peran tak kalah penting dari ikan-ikan liar di habitat aslinya. Ikan, seperti makhluk lainnya, merupakan bagian dari ekosistem yang lebih besar. Ia bisa menjadi hewan indikator untuk predator di atasnya, yang kelimpahannya dapat diartikan sewaktu-waktu sebagai ledakan populasi ketika populasi pemangsanya menurun. Atau dalam kasus ekstrem---sebagaimana disampaikan Gene S. Helfman (2007)---kematian masal ikan memberikan peringatan dini tentang kondisi kualitas air yang dapat memengaruhi kesehatan manusia. Kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan, perubahan iklim, perusakan habitat asli karena aktivitas pertambangan batubara, dapat mewujudkan hal buruk itu. Bagaimana menjaganya? Salah satu langkah menjaga keseimbangan ekosistem yang dilakukan masyarakat Lahat, senada dengan pernyataan Richard A. Niesenbaum (2019) dalam The Integration of Conservation, Biodiversity, and Sustainability. Yakni bahwa budaya-budaya adat telah diakui secara luas telah mengembangkan gaya hidup yang lebih selaras dengan tujuan keberlanjutan, dan dalam banyak kasus, memiliki pemahaman yang mendalam tentang penggunaan dan manfaat yang diberikan oleh keanekaragaman hayati. Masyarakat Lahat telah mengadopsi ini jauh hari---preferensi penangkapan ikan-ikan sampah yang dilakukan intens justru setelah debit sungai mengecil, sampai penggunaan alat-alat tangkap tradisional di lapangan, adalah beberapa contohnya.
Pada akhirnya, ini tidak hanya persoalan persepsi rasa di indra pengecap belaka, namun rasa memiliki karena kebutuhan untuk 'terkoneksi' juga sama pentingnya. Misalnya, dalam pembuatan Balur, ikan-ikan yang digunakan umumnya adalah dari ikan sampah, seperti dari spesies Seluang atau Kepiat. Ikan ini tidak hanya dikenali dalam fungsinya memenuhi kebutuhan konsumsi saja, tapi juga sebagai identitas yang melekat pada masyarakat setempat. Kepedulian masyarakat Lahat akan ikan-ikan ini diimplementasikan dalam lagu-lagu daerah---Seluang Negok Tapah (Seluang yang hendak menelan Tapah / jenis ikan besar, penggambaran sesuatu yang mustahil), dan Petanglah Petang (dimana liriknya berbunyi 'Kepiat belinang-linang, mati disambar burung binti' yang artinya Kepiat yang bergerak-gerak di air, disambar oleh sejenis burung pemakan ikan)---yang masing-masing lirik pada kedua lagu itu mengungkapkan proses ekologi dalam kehidupan ikan-ikan tersebut. Ini menjadi rasa ungkap, yang bila dihubungkan dengan referensi menarik dari Fish Conservation: A Guide To Understanding and Restoring Global Aquatic Biodiversity and Fishery Resources oleh Gene S. Helfman (2007), terutama tentang bagaimana meyakinkan publik soal pentingnya keanekaragaman hayati terutama ikan, dapat kita gambarkan sebagai 'pemahaman dan penghargaan terhadap nilai keberagaman hayati yang bersifat non-utilitarian'.
Ini berarti bahwa menghargai keanekaragaman hayati---terutama ikan-ikan lokal atau endemik---seharusnya bukan semata-mata karena manfaat praktis atau nilai ekonominya bagi manusia, tetapi karena keberadaan makhluk hidup itu sendiri yang memiliki nilai intrinsik. Dengan kata lain, menikmati Balur bagi masyarakat Kabupaten Lahat, bahkan Sumatera Selatan, adalah lebih dari pemenuhan kebutuhan selera makan, tapi juga untuk membuang jauh kehambaran identitas; pengakuan, bahwa manusia adalah satu kesatuan dengan alam sekitarnya.
*
DYTA UTARI. Seorang Pekebun, dikenal juga sebagai Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya---dengan nama pena Dee Hwang---merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021). Kegiatan dan hasil berkebun didokumentasikan di Instagram & Threads: @hellodeehwang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H