Mohon tunggu...
Pramadio Bambang Nugroho
Pramadio Bambang Nugroho Mohon Tunggu... Dokter - General Practitioner | freelancer | pemerhati fenomena sosial | dreamer

General Practitioner | freelancer | pemerhati fenomena sosial | dreamer

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

Monkeypox atau Cacar Monyet, Apa Itu?

21 Mei 2019   17:05 Diperbarui: 21 Mei 2022   07:21 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini telah ditemukan kasus cacar Monyet atau Monkeypox di Singapura. Penyakit tersebut terkonfimasi diidap oleh seorang warga negara Nigeria berusia 38 tahun yang sedang berkunjung ke negeri tersebut pada tanggal 28 April 2019. Warga Nigeria tersebut saat ini masih dalam pengawasan di ruang isolasi Pusat Penyakit Menular Nasional (NCID) dalam kondisi stabil.

Beredar kabar yang viral di sosial media mengenai masuknya penyakit sejenis ke Indonesia yang merupakan negara tetangga Singapura. Kabar bohong (hoax) yang beredar antara lain tentang Anggota TNI yang dikabarkan meninggal di RSPAD Gatot Subroto karena penyakit Monkeypox ini. Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa saat ini tidak ditemukan penyakit cacar monyet di seluruh Indonesia. Namun, kewaspadaan tetap perlu diterapkan untuk mencegah penyakit tersebut muncul.

Monkeypox atau cacar monyet adalah suatu penyakit langka yang disebabkan oleh infeksi  Monkeypox virus, suatu orthopoxvirus yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui kontak darah, cairan tubuh, luka di kulit atau mukosa tubuh hewan (tikus atau primata, seperti monyet dan sejenisnya) atau manusia yang terinfeksi, serta kontak dengan benda yang telah terkontaminasi oleh paparan hewan atau manusia tersebut. 

Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi akibat gigitan atau cakaran hewan, kontak langsung seperti luka atau cairan tubuh, dan kontak tidak langsung terhadap luka hewan terinfeksi misalnya tempat tidur yang telah terkontaminasi. Penularan dari manusia ke manusia paling sering melalui droplet (percikan) dari pernafasan, bisa karena batuk, bersin, atau berbicara dalam jarak dekat.

Kasus cacar monyet pada manusia pertama kali didokumentasikan pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo. Sejak itu, cacar monyet banyak dilaporkan di daerah Afrika Barat dan Afrika Tengah. Hingga tahun 2018, cacar monyet pada manusia hanya ditemukan di 3 negara di luar Afrika, antara lain Amerika Serikat pada tahun 2003 sebanyak 47 kasus, dan pada tahun 2018 di Inggris sebanyak 3 kasus dan Israel 1 kasus. Singapura merupakan negara ke-4 di luar Afrika yang menemukan kasus tersebut.

Masa inkubasi dari infeksi hingga muncul gejala sekitar 7-14 hari, namun dapat terjadi dikisaran 5-21 hari. Gejala-gejala yang timbul pada cacar monyet antara lain demam, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri punggung, menggigil, badan terasa lelah dan pembesaran kelenjar getah bening. Ruam muncul pada 1-3 hari setelah demam, dimulai dari wajah kemudian menyebar ke seluruh tubuh. 

Ruam diawali dengan bercakan merah dengan dasar datar (makulopapul), kemudian menjadi lenting-lenting berisi cairan (vesikel), bernanah ( pustul), hingga menjadi berkerak dan keropeng (krusta dan scab). Gejala ini bertahan hingga 2-4 minggu. Gejala cacar monyet ini hampir menyerupai gejala penyakit cacar (smallpox) yang sudah tereradikasi pada tahun 1980. Penderita dinyatakan sembuh dan tidak menular setelah lesi pada kulit ini terkelupas seluruhnya. Di Afrika, penyakit ini dapat menyebabkan 1 dari 10 penderitanya meninggal dunia.

Diagnosis cacar monyet dapat dilakukan dengan melihat kondisi klinis pasien, adakah riwayat bepergian ke daerah endemis seperti Afrika Barat dan Tengah dalam waktu 2 minggu terakhir, dan perlu dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium khusus. Pengambilan spesimen pun berbeda tergantung dari tahapan penyakit yang diderita oleh pasien.

Sumber: cdc.gov | Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Diseases (NCEZID), Division of High-Consequence Pathogens and Pathology (DHCPP)
Sumber: cdc.gov | Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Diseases (NCEZID), Division of High-Consequence Pathogens and Pathology (DHCPP)

Hingga saat ini, belum ada tatalaksana atau vaksin yang spesifik untuk mengobati penyakit cacar monyet. Akan tetapi, penyakit ini dapat dikontrol apabila terjadi wabah (outbreak). Vaksin smallpox terbukti efektif untuk mengontrol dan mencegah penyebaran dari cacar monyet ini. Sayangnya, vaksin ini sudah jarang beredar di masyarakat karena smallpox sudah dianggap tereradikasi. Cidofovir dan  ST-246 terbukti mengurangi aktifitas virus dalam studi yang dilakukan pada hewan, tetapi belum ada data yang menunjukkan efektivitas pada manusia.

Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit cacar monyet, antara lain dengan menghindari kontak dengan hewan yang dicurigai terpapar virus (hewan yang sakit atau mati di sekitar daerah endemis) atau benda yang terpapar hewan tersebut dan selalu menjaga kebersihan diri, terutama setelah kontak dengan hewan atau manusia yang terinfeksi salah satunya dengan cara mencuci tangan dengan sabun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun