Jiwo berdiri di pelataran Masjid Agung Tuban, menatap menara megah yang menjulang di bawah langit senja. Udara pesisir yang hangat bercampur aroma laut membawa ingatan masa kecilnya, saat ia dan ayahnya sering berkunjung ke masjid ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, Jiwo kembali, namun bukan untuk mengenang, melainkan untuk mencari jawaban atas kegelisahan hatinya.
Sebagai seorang manajer muda, Jiwo pernah membuat keputusan besar yang ternyata keliru. Keputusannya membuat perusahaan menanggung kerugian besar, dan ia merasa bertanggung jawab penuh. Beban itu menghantui hari-harinya, membuatnya merasa kehilangan arah.
Selepas salat Ashar, Jiwo duduk di sudut masjid, membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa. Namun, pikirannya terus melayang. Tiba-tiba, seorang lelaki tua, marbot masjid, mendekatinya sambil membawa sapu.
"Sedang merenung, Nak?" tanya lelaki itu lembut.
Jiwo mengangguk kecil. "Iya, Pak. Saya sedang mencoba memahami jalan keluar dari masalah yang saya hadapi."
Marbot itu tersenyum bijak, lalu duduk di sampingnya. "Masjid ini adalah tempat yang tepat untuk itu. Banyak orang datang ke sini membawa beban hati, dan mereka pulang dengan ketenangan."
Jiwo terdiam, lalu memberanikan diri bertanya, "Pak, apakah pernah merasa membuat kesalahan yang sangat besar sampai sulit memaafkan diri sendiri?"
Marbot itu mengangguk. "Tentu saja, Nak. Semua manusia pernah berbuat salah. Tapi bukankah Allah Maha Pengampun? Yang penting, kita segera kembali kepada-Nya, bertaubat, dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki."
Malam itu, Jiwo memutuskan bermalam di masjid. Di sepertiga malam, ia bangun untuk salat tahajud. Dalam sujud panjangnya, ia menangis, memohon ampunan dan petunjuk dari Allah. Untuk pertama kalinya dalam sebulan terakhir, ia merasa hatinya lebih ringan.
Keesokan paginya, Jiwo berjalan-jalan di sekitar alun-alun Tuban. Ia berhenti di sebuah warung kecil yang menjual nasi pecel. Wangi bumbu kacang yang gurih dan hangat membuatnya tergoda untuk mencoba. Jiwo duduk di bangku kayu sederhana, menikmati sarapan di bawah bayang-bayang pohon rindang.
Ketika sedang makan, Pak Marbot tiba-tiba muncul, membawa keranjang kecil berisi sayuran segar. "Pagi-pagi makan nasi pecel, ya?" tanyanya sambil tersenyum.