Saat ini, ketrampilan komunikasi tenaga kesehatan masih menjadi masalah di berbagai layanan kesehatan di Indonesia. Masih banyak pasien yang mengeluhkan tenaga medis yang irit bicara, tidak komunikatif, bahkan cenderung kurang ramah.Â
Untuk memaksimalkan pelayanan dan meminimalkan keluhan, Puskesmas Gondang Mojokerto mengundang akademisi dari Universitas Kristen Petra untuk mengadakan pelatihan Komunikasi Efektif pada tanggal 7, 8, 10 Agustus, dan 11 Oktober 2019. Pelatihan dibagi dalam beberapa bahasan yaitu komunikasi antar pribadi, komunikasi publik, pembuatan newsletter, dan pembuatan alat peraga.
Ada dua bentuk komunikasi yang biasa dilakukan dalam konteks layanan kesehatan dengan pasien, yaitu komunikasi publik dan komunikasi antar pribadi. Tulisan ini akan lebih berfokus pada ketrampilan komunikasi antar pribadi. Namun sebelumnya, ada prinsip komunikasi umum yang perlu diketahui dan menjadi dasar kita berelasi, yaitu:
1.Kita tidak dapat tidak berkomunikasi
Seseorang bisa saja diam dan tidak mengucapkan satu patah katapun, namun orang lain tetap bisa memaknai simbol non-verbal yang tampak. Meskipun secara verbal tidak ada pesan yang disampaikan, namun simbol-simbol non-verbal akan selalu ada, dengan atau tanpa sengaja disampaikan. Misalnya ketika seseorang memakai baju berwarna cerah, orang di sekitarnya mungkin berpikir bahwa ia sedang bahagia. Bahkan diamnya seseorang pun bisa dimaknai bete, marah, malas, tidak antusias, dan lain-lain.
Dalam konteks komunikasi kesehatan, simbol non-verbal sederhana seperti raut wajah dan nada bicara ramah, kontak mata, cara berpakaian profesional, dan bau badan yang harum dapat mengkomunikasikan dukungan dan menenangkan pasien yang sedang sakit. Â
2.Komunikasi idealnya berlangsung dua arah
Dalam konteks kesehatan, dokter dan perawat tentu lebih ahli daripada pasien, namun agar bisa memberika diagnosa yang tepat, tenaga medis harus bersedia menjadi pendengar yang baik bagi pasiennya.Â
Dengan demikian, pasien akan merasa lebih dihargai. Seringkali keluhan atau pendapat pasien dan keluarganya diabaikan karena rumah sakit atau puskesmas kelebihan pasien sehingga komunikasi dilakukan seadanya, bahkan terburu-buru. Untuk mendukung prinsip komunikasi dua arah ini, memang perlu ada penyesuaian kebijakan terkait kapasitas pasien di setiap rumah sakit.
3.Komunikasi idealnya lebih efektif jika ada kesamaan latar belakang (frame of reference dan field of experience)
Memiliki latar belakang yang sama membuat komunikasi bisa lebih nyambung. Namun, dalam relasi tenaga medis-pasien tentu kesamaan latar belakang tidak bisa menjadi syarat mutlak.Â
Dalam kondisi seperti ini, empati dan wawasan luas merupakan salah satu solusi yang membantu agar komunikasi berjalan efektif. Wawasan tentu berupa pengetahuan tentang latar belakang sosio-kultur dan ekonomi kebanyakan pasien.Â
Setelah mengetahui latar belakang pasien, tenaga medis diharapkan memiliki empati atas kondisi mereka. Misalnya, ketika menangani seorang ibu yang ASI-nya tidak lancar sehingga anaknya tidak bisa mengonsumsi ASI eksklusif, alih-alih menyalahkan dan memberikan ceramah tentang sempurnanya ASI, tenaga medis sebaiknya mendengarkan kisah si ibu, bagaimana kesulitannya, dan memberikan dukungan agar terus berusaha.
4.Komunikasi tidak dapat ditarik kembali
Prinsip terakhir ini seharusnya membuat kita lebih berhati-hati dalam melontarkan pesan, karena setiap kata-kata bisa memberi dampak. Sekali kita memberi pesan yang salah, kata-kata kita tidak bisa dicabut, bahkan meskipun kita meminta maaf.