Malam tadi, kesebelasan Paris Saint German (PSG) gagal meraih mimpi mereka untuk meraih gelar juara Liga Champions 2020. Gol Tunggal dari Kingsley Coman membuyarkan harapan untuk meraih gelar Liga Champions perdana mereka.Â
Air mata kesedihan tumpah ruah di pelupuk mata Neymar Jr. dan kawan-kawannya. PSG gagal menutup musim ini dengan cerita yang diimpikan oleh para fansnya.Â
Tulisan ini, tidak ingin membahas lebih lanjut teknis seputar dari pertandingan final tadi malam. Jangan harap anda menemukan ulasan statistik dari jalannya pertandingan, isu tentang masa depan pemain, ataupun momen selebrasi yang terjadi di Lisbon.Â
Di sini, kita justru ingin melihat akibat yang ditimbulkan oleh kekalahan PSG di luar lapangan. Kekalahan PSG ternyata dibuntuti oleh rentetan kerusuhan massa yang terjadi di pusat Kota Paris.Â
Dalam satu malam, Paris dibuat membara dengan kerusuhan yang diduga dimotori pendukung garis keras PSG atau biasa dikenal sebagai ultras.
Kota Paris mendadak berubah menjadi mencekam tadi malam. Kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Paris untuk menggelar nonton bareng akbar di alun-alun Stadion Parc de Princess, ternyata disia-siakan.Â
Selepas peluit panjang dibunyikan, mereka mengamuk dan merusak fasilitas umum. Ratusan mobil dibuat terbakar akibat dilempar suar oleh para penggemar fanatik "Le Parisiens". Mereka juga menembakan suar ke area-area fasilitas umum.
Tak hanya itu, mereka melanjutkan aksi vandalismenya dengan menyerang petugas kepolisian yang sengaja diturunkan untuk mencegah kerusuhan meluas.Â
Seperti biasa, ultras akan selalu mengalami bentrokan hebat dengan rival tradisionalnya yaitu aparat keamanan. 184 orang ditangkap oleh pihak kepolisian dari aksi memalukan ini.
Bahkan, Menteri Dalam Negeri Prancis juga ikut berkomentar akibat kerusuhan yang merusak ratusan fasilitas umum dan pribadi.
Berita dari kerusuhan ini merebak ke seluruh penjuru dunia. Indonesia tentunya menjadi salah satu negara yang terpapar oleh informasi ini.Â
Media-media mainstream maupun media sosial ramai-ramai memberitakan berita ini secara massif. Tentunya, hal ini sontak membuat para warganet dari negeri ini tak ikut ketinggalan untuk mengkomentari kejadian ini.Â
Menariknya, di sini kita mendapatkan beberapa komentar dari para warganet yang cukup membuat geleng-geleng kepala.
Komentar-komentar yang dimaksud itu ternyata berisi cibiran terhadap suporter dari negeri mereka sendiri, Indonesia. Sontak, kita pasti merasa terheran - heran.Â
Bagaimana bisa aksi yang dilakukan oleh orang-orang penyuka keju, dikait-kaitkan dengan pihak yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat kerusuhan.Â
Mereka menganggap kerusuhan yang dilakukan oleh Suporter PSG adalah wajar dan normal. Hal ini dikarenakan prestasi PSG masuk ke partai final "sebanding" dengan tindak laku memalukan dari para fansnya.Â
Lebih dari itu, mereka juga menyeret suporter Indonesia ke arena kolom komentar konten-konten peristiwa ini. Bagi mereka, fans-fans di Indonesia tidak boleh melakukan kerusuhan sebelum prestasi dari sepak bola kita meningkat.Â
Bahkan, mereka juga mengkambing hitamkan suporter kita sebagai biang dari kegagalan Indonesia berbicara pada ajang internasional. Seolah-olah suporter Indonesia di sini merupakan biang kerok utama dari mandeknya prestasi sepak bola nasional.
Fenomena ini tentunya sangat menyedihkan. Pertama, ini mengindikasikan bahwa sebenarnya ungkapan makian dan cercaan kepada ulah suporter Indonesia tidak didasari pada ide menolak tindakan kekerasan.Â
Pikiran mereka menganggap bahwa, kekerasan tersebut sebenarnya sah-sah dilakukan oleh pihak yang telah menguasai suatu bidang tertentu. Jika logika ini terus dipakai, bukan tidak mungkin tindakan kekerasan suporter Indonesia suatu saat akan dibenarkan oleh kelompok tersebut jika dikompensasikan dengan harga sebuah piala.Â
Kemudian yang berikutnya, kembali lagi ini menunjukan betapa inferiornya rakyat kita dalam pergaulan internasional. Mereka masih menganggap bahwa tindak-tanduk yang dibawa oleh para "bule" itu selalu baik dan benar.Â
Argumen yang mereka bawa biasanya dikarenakan peradaban "bule-bule" itu dianggap lebih tinggi dan maju. Pikiran tidak adil beginilah yang kemudian membuat mereka lebih senang membenarkan tindakan bodoh para asing, dan membahas kebodohan dari bangsa kita selama bertahun-tahun.Â
Padahal kalau kita melihat fakta, suporter Indonesia sama sekali tidak pernah dilibatkan oleh federasi dalam menyusun rencana pengembangan sepak bola negeri ini. Sistem sepak bola kita didesain, dengan sangat sedikit memberi akomodasi kepentingan para suporter.Â
Dari sekedar masuk stadion saja, kita disuguhkan dengan perlakuan tidak menyenangkan. Mulai dari masuk berdesak-desakan, hingga disitanya barang-barang berharga tanpa ada kompensasinya.
Justru seharusnya, kita melihat bahwa kerusuhan-kerusuhan tersebut sebenarnya adalah akibat dari kegagalan regulator sepak bola di negeri ini. Satu paket dengan anjloknya prestasi Tim Nasional Indonesia selama bertahun-tahun.
Jadi, marilah kita mulai bisa berpikir secara adil dan tegak sebagai orang Indonesia. Kita harus adil, bahwa tiap tindakan kesalahan yang dilakukan oleh siapapun tidak terikat dengan suku, agama, ras, dan golongan tertentu.Â
Kemudian kita harus tegak, dalam membangun kesadaran sebagai bangsa yang juga setara dengan bangsa-bangsa lainnya. Oleh dengan itulah, baru kemudian kita bisa berpikir dengan jernih untuk sama-sama membenahi aspek-aspek yang masih kurang dari negeri ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H