Mohon tunggu...
Farizky Aryapradana
Farizky Aryapradana Mohon Tunggu... Freelancer - D.Y.N.A.M.I.N.D

Just follow the flow of my mind.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menguji Tuah Konservatif Liga Champions

23 Agustus 2020   19:39 Diperbarui: 23 Agustus 2020   19:46 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, Liga Champions 2020 telah mencapai titik puncak perjalanannya. Pertandingan antara Paris Saint German (PSG) dengan Bayern Munchen, akan menjadi penutup dari rangkaian kompetisi kelas atas Eropa ini. Mereka berdua akan beradu taktik dan strategi, guna mendapatkan gelar mahkota sebagai penguasa benua biru. Lisbon akan menjadi saksi pertemuan antar keduanya pada Senin (24/8) dini hari nanti.

Kompetisi Liga Champions, selama ini dikenal memiliki nilai prestise yang sangat mahal. Kekuatan tim yang berhasil tampil dominan di dalam kompetisi ini, tak hanya lagi disandarkan kepada faktor kemampuan teknis di atas lapangan. 

Mental dan tradisi, menjadi dua kata kunci lain yang membuat kompetisi ini menjadi sangat konservatif tampilannya. Cukup meratanya kualitas materi yang dibawa tim - tim yang berlaga, membuat dibutuhkan dua faktor tadi untuk ikut mendongkrak performa tim di lapangan.

Selama ini, Liga Champions terkenal dengan peserta-peserta yang telah menancapkan jejak-jejak kesejarahannya di kompetisi ini. Real Madrid, AC Milan, dan Bayern Munchen menjadi beberapa contoh beberapa klub yang dinilai memiliki koneksi non-teknis dengan Liga Champions. 

Hal tersebut didasarkan berdasarkan perolehan catatan gelar juara yang telah dikoleksi mereka. Hanya klub-klub tersebutlah yang kemudian, dianggap oleh banyak pihak akan terus menghasilkan prestasi di dalam Liga Champions. 

Hal tersebutlah yang kemudian membuat kompetisi ini dianggap sangat konservatif. Perebutan gelar juaranya, dipengaruhi cukup besar oleh faktor tradisi dan nilai moral yang sudah mapan dan teruji selama puluhan tahun. 

Anggapan tersebut ternyata bukan tanpa dasar. Baru-baru ini, Real Madrid sendiri sukses untuk mengamankan gelar juara Liga Champions tiga kali berturut-turut. 

Tak hanya itu, beberapa tim yang sudah mapan di kompetisi lokal bertahun-tahun juga terkena batunya. Arsenal menjadi salah satu contoh bagaimana sulitnya menembus kompetisi tertinggi eropa, meski di kompetisi domestik mereka mempamerkan rekor "invisible". Liga Champions seolah-olah hanya ramah kepada mereka, yang telah memiliki ikatan kesejarahan dan tradisi bertahun-tahun.

Bagi tim yang belum pernah juara pun, mereka harus beberapa kali langkahnya tersendat dikarenakan terkena "aturan tak tertulis" tersebut. Sebut saja misalnya Chelsea. Sejak dibeli oleh Roman Abrahamovich pada tahun 2003, Chelsea menunggu selama 9 tahun untuk bisa unjuk gigi di kompetisi eropa! 

Padahal, Roman sejak awal membeli Chelsea telah royal dalam membeli dan mengumpulkan pemain-pemain berlabel bintang. Chelsea harus melalui ujian demi ujian terlebih dahulu sebelum mencapai kejayaannya. Mulai dari tragedi terplesetnya John Terry, hingga menghadapi keputusan kontroversial ketika melawan Barcelona di semi final. 

Hari ini, PSG dan Bayern akan bertanding di arena final. Kehadiran PSG sebagai tim yang belum pernah menjuarai Liga Champions, tentunya dapat menjadi pembuktian bagi konservatifnya kompetisi ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun