Apakah kamu pernah memikirkan pemikiran "Aku sedang tidak menjadi diri sendiri" ketika kamu ingin mengunggah postingan di instagram atau ketika sedang berkumpul bersama orang lain?
Maksudnya, perasaan bahwa seolah-olah kamu menipu diri sendiri dan orang di sekitarmu tentang siapa sebenarnya dirimu, pandangan atau opini yang kamu miliki, isi perasaanmu, kondisi tubuhmu, atau bahkan mengenai seperti apa kondisi ekonomimu, saat sedang merasakan itu apakah muncul pikiran-pikiran bersalah seperti, "Aku sebenarnya tidak sekeren ini", "Postinganku kok terlihat berlebihan dari yang seharusnya ya?", "Aku sebenarnya tidak setuju dengan pendapatmu, tapi.." atau muncul perasaan resah karena takut orang lain tidak suka omonganmu? Atau kamu sudah berada pada tahap di mana kamu sadar bahwa kamu sudah menggadaikan kebebasanmu kepada orang lain, ketika perilakumu terdikte oleh opini orang lain?
Seperti itulah saat kita tidak "menjadi diri sendiri", tidak jujur dengan diri kita yang sebenarnya menghasilkan perasaan bersalah karena kamu mengkhianati diri sendiri, juga meresahkan dirimu setiap saat memikirkan tidak akan disukai orang lain jika menjadi apa adanya, lebih jauh kita akan terbebani dengan perasaan terkekang dan dikendalikan oleh orang lain.
Bagaimana bisa dirimu yang punya jiwa, pikiran, dan tubuh yang berbeda dengan orang lain bisa sampai tidak menjadi diri sendiri?
Ketika kita banyak menjejali diri sendiri dengan ekspektasi yang tidak masuk akal, saat itulah kesenjangan antara realitas dan imajinasi memunculkan kegelisahan, menuntut kita mewujudkan halusinasi yang jelas tidak masuk akal kedalam kenyataan yang sudah pasti tidak akan terjadi. Penilaian kita yang tidak tepat terhadap media sosial memperparah kehausan kita akan keinginan untuk selalu dianggap baik, untuk dapat tampil sempurna tanpa cela di depan manusia. Filter kamera membuat wajah kita bagai artis korea, melihat teman memposting lebih banyak karya membuat kita merasa tak berguna.
Kita benci dengan perasaan sakitnya ditolak, sakitnya tidak dihargai sebagaimana adanya kita. Penolakan dari orang-orang di sekitar kita setara dengan perasaan takut mati karena tidak dapat bertahan hidup. Evolusi otak kita tidak berjalan sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial kita saat ini, sejarah perkembangan manusia lebih lama saat bergantung dengan keterikatan antar individu dalam suatu suku ketimbang masa individualis saat ini ketika revolusi industri yang muncul begitu tiba-tiba dan berkembang dengan sangat cepat. Dulu, tidak diterima oleh lingkungan suku sama saja mati, karena bagaimana mungkin manusia yang lemah dapat bertahan oleh ancaman hewan buas di hutan rimba tanpa bekerja sama dan menyusun rencana?
Kita begitu takut dengan tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang kita ambil, sehingga menyerahkan pilihan hidup kita kepada orang lain, dengan bertindak sesuai ekspektasi mereka. Karena jika kita berada pada jalan yang salah, jalan kehidupan yang tidak bahagia maka itu salah mereka. Kita berpikir "ini salah dia, ini salah lingkungan jika aku harus menjalani kehidupan yang tidak bahagia, karena mereka yang menuntut ekspektasi kepada ku." Lebih mudah menyalahkan orang lain ketimbang takut salah karena pilihan kita sendiri, kita takut menyalahkan diri sendiri.
Ketika hati dan pikiran kita terbebani ketidakjujuran karena terus-menerus kesakitan saat mematikan diri kita yang apa-adanya, keinginan kita dari hati yang terdalam, bagaimana mungkin kita dapat bahagia? Kita harus terlebih dahulu bersedia mengakui kekurangan dan kesalahan kita untuk dapat terus melakukan perubahan.
Kemudian, ketimbang menjadi budak yang terbelenggu ekspektasi orang lain, bukankah lebih baik dan tidak menyiksa diri jika kita dibenci oleh beberapa orang saja dan salah beberapa kali, tapi kita dapat melakukan sesuatu dengan ringan hati dan terus berkembang menjadi lebih baik dengan mengambil pelajaran atas kesalahan, kegagalan, dan kebodohan yang telah kita lewati?
 Â
 *Referensi :
Kishimi, Ichiro., dan Koga, Fumitake. (2019). Berani Tidak Disukai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Manson, Mark. (2018). Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat: Pendekatan Yang Waras Demi Menjalani Hidup Yang Baik. Jakarta: Grasindo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H