Dylan Aprialdo Rachman
Jangan berharap tulisan ini akan membongkar intrik permufakatan kejahatan yang dijalankan oleh Ketua DPR Setya Novanto bersama sejumlah pihak yang terlibat dalam rekaman yang disodorkan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Apa yang diungkapkan oleh penulis tidak akan membahas jauh ke sana, mengingat kasus ini masih dalam proses penyelidikan lebih lanjut oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti sebagaimana dikutip dalam Kompas.com, menuturkan bahwa rekaman yang diberikan oleh Menteri ESDM Sudirman Said menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPR Setya Novanto sudah memenuhi unsur-unsur permufakatan jahat (Baca: Kata Kapolri, Kasus Setya Novanto Sudah Ada Unsur Permufakatan Jahat). Pihak Kejaksaan Agung melalui pernyataan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah juga mengakui bahwa permufakatan jahat Setya Novanto bisa dikategorikan sebagai potensi awal sebuah kejahatan (Baca: Kejaksaan Agung: Speak-Speak Mau Permufakatan Jahat, Kita Pites Saja). Penulis akan lebih memberikan perhatian bagaimana publik melakukan public shaming terhadap Setya Novanto melalui media sosial. Sebelum mengarah kesana, alangkah lebih baiknya penulis mengajak pembaca untuk memahami peran internet dalam era cyberdemocracy.
Keberadaan internet khususnya media sosial seperti twitter, facebook, instagram dan Line tidak hanya sekedar menjadi alat komunikasi untuk berinteraksi antar pengguna tetapi juga sudah menjadi alat dalam mengemukakan pendapat, aspirasi, dan kritik terhadap sebuah isu atau peristiwa yang terjadi secara aktual. Belakangan ini budaya mengkritik via media sosial merupakan sebuah tren dan dianggap sebagai kegiatan yang wajar dalam era demokrasi di negeri ini. Cyberdemocracy merupakan istilah yang dapat dilekatkan terhadap peran internet khususnya media sosial dalam meningkatkan kebebasan berpendapat di era demokrasi. Banyak sekali berbagai macam kritik yang dilontarkan oleh netizen melalui jejaring sosialnya terhadap seseorang, isu atau sebuah peristiwa mulai dari sesuatu yang ringan dan sepele hingga sesuatu peristiwa yang dianggap berat dan menyita perhatian publik secara luas.
Menurut Doshi (dalam The New Indian Express, 2015) media sosial telah menjadi alat kekuatan baru bagi masyarakat untuk memberikan kritik, menjalankan pengawasan terhadap berbagai macam aktivitas yang ada di dalam lembaga pemerintahan. Para netizen bisa menggunakan media sosial untuk mencari dan menggalangkan empati, simpati dan kekuatan dengan menyatukan netizen untuk bersikap satu suara dan bergerak bersama dalam merespon sebuah isu atau peristiwa. Cyberdemocracy melahirkan cyberprotest yang menjadi tren masyarakat dalam bersuara (Ibrahim, 2011). Media sosial bisa menjadi sebuah public trial (pengadilan publik) ketika seseorang atau kelompok dianggap melakukan penyimpangan dalam sebuah masyarakat mulai dari orang biasa hingga kepala negara bisa menjadi sasaran empuk pengadilan semu ini.
Aksi cyberprotest yang seringkali dilakukan oleh para netizen adalah public shaming. Menurut Jacquet (2015) aksi public shaming merupakan solusi efektif dalam melakukan sebuah perlawanan tanpa aksi kekerasan (non-violent resistance) serta sarana alternatif ketika kekuatan penegakkan hukum dinilai lemah oleh masyarakat. Di Indonesia sudah marak dilakukan dalam berbagai macam peristiwa. Jika melihat ke belakang, kasus Florence Sihombing yang dianggap menghina masyarakat Yogyakarta melalui status Path akibat kekesalannya karena tidak diberikan pelayanan yang baik di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di Yogyakarta dengan cara menyerobot atau tidak mau mengikuti proses antrian yang ada merupakan salah satu bukti bagaimana para netizen melakukan public shaming terhadap Florence. Ia menulis dalam akun Path-nya “Jogja Miskin, Tolol, dan Tak Berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja”.
Kekesalan Florence yang dituangkan dalam statusnya sontak mengundang reaksi amarah masyarakat Yogyakarta hingga membuat salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat Jangan Khianati Suara Rakyat (Jati Sura) melaporkan dirinya ke Polda DIY. Florence terancam dengan kurungan maksimal 6 tahun penjara karena dianggap melanggar UU ITE No. 11 tahun 2008 dengan dugaan melakukan pencemaran nama baik dan provokasi mengampanyekan kebencian terhadap masyarakat Yogyakarta.
Sikap Florence sebagai mahasiswa hukum di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Yogyakarta juga memaksa pihak fakultas untuk memberikan sanksi tegas terhadap dirinya. Kasus ini berhasil diselesaikan melalui jalur damai dan negosiasi antar pihak baik Florence, perwakilan masyarakat dan pihak kesultanan Yogyakarta. Kasus Florence menjadi bukti bahwa seseorang yang dianggap melakukan penyimpangan bisa menjadi sasaran keroyokan (the shamee) para netizen (the shamers) untuk dikritik, dicaci maki, dan dihina sampai-sampai membuat Florence sebagai seorang individu merasa malu dan kapok atas sikapnya tersebut.
Kita juga dikejutkan dengan ulah sejumlah remaja perempuan yang melakukan aksi yang dianggap tidak pantas oleh kalangan instagrammers dan netizen di media sosial lainnya. Beberapa remaja tersebut melakukan foto selfie di sebuah kebun bunga milik seorang warga yang berlokasi di Padukuhan Ngasemayu, Desa Beji, Kecamatan Patuk, Yogyakarta dengan menginjak, menduduki, dan merebahkkan diri di hamparan bunga-bunga indah yang tumbuh subur di kebun tersebut. Aksi tersebut mengundang reaksi kekesalan dari para netizen khususnya pengguna instagram setelah melihat foto selfie tersebut diunggah melalui akun pribadinya. Berbagai macam pengguna instagram menilai bahwa mereka tidak memiliki pertimbangan etis dan tidak bersikap bijak ketika melakukan selfie di kawasan alam. Kritik dan cacian pun mengalir deras baik dalam bentuk komentar hingga beredarnya beragam meme di Instagram dan juga twitter (karena foto selife tersebut juga beredar di kalangan pengguna twitter).
Jika melihat praktik public shaming dalam peristiwa politik, kita bisa berkaca pada peristiwa yang sempat heboh di Indonesia. Peristiwa ini bermula dari “kegaduhan” yang dipicu Menteri ESDM Sudirman Said yang melaporkan ulah salah satu figur politik yang berpengaruh yaitu Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR karena diduga melakukan pelanggaran etik akibat mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam soal perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Sudirman menuding bahwa Setya bersama seorang pengusaha meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden Jokowi dan 9 persen untuk Wakil Presiden Jusuf Kalla demi memuluskan rencana perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Atas kelakuan Setya Novanto tersebut membuat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla angkat bicara dan menyampaikan kekesalannya.
Jokowi merupakan sosok paling terang-terangan dalam mengutarakan kekesalannya akibat ulah yang dilakukan oleh Setya Novanto. Seperti dikutip oleh rekan kompasianer, Nandita Sulandari dalam artikelnya Membaca Pesan Poltiik Jokowi Terhadap Novanto disebutkan bahwa Jokowi marah besar. Jokowi sebenarnya dikenal sebagai sosok yang bersifat merangkul terhadap orang-orang disekitarnya dan juga masyarakat. Ia juga sebenarnya merupakan orang yang bersifat tenang dan kalem dalam menanggapi sesuatu, tapi peristiwa ini mampu mengubah sikapnya 180 derajat.
“Kalo sudah menyangkut wibawa lembaga, mencatut, meminta saham 11 persen itu yang saya ndak mau, enggak bisa. Ini masalah kepatutan, kepantasan, masalah etika, masalah moralitas dan itu masalah wibawa negara,” ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Istana Negara. Kemarahan tersebut jelas terlihat dari komunikasi non verbal yang disampaikan Jokowi dengan menyampaikan pesan tersebut menggunakan penekanan nada tinggi, diiringi jeda yang lama dan memasang mimik wajah marah.
Kasus ini semakin diperkeruh dengan sikap Mahkamah Kehormatan Dewan yang tidak konsisten dalam mengusut dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto. Sudirman Said pada waktu itu meminta MKD untuk melaksanakan sidang kode etik secara terbuka agar masyarakat bisa melihat proses pengusutan kasus ini secara langsung, dan pihak MKD menyanggupi permintaan Sudirman serta menerima tekanan yang disampaikan oleh berbagai macam kalangan masyarakat. Namun keputusan itu lantas berubah 180 derajat, MKD memutuskan sidang kode etik dilangsungkan secara tertutup. Situasi semakin diobok-obok dengan perubahan komposisi anggota sidang MKD, dengan masuknya Dimyati Natakusumah dan Kahar Muzakir juga menjadi perhatian publik karena dinilai tidak pantas menjadi anggota sidang mengingat keduanya pernah terlibat kasus dugaan korupsi.
Selain itu publik juga menilai adanya upaya pembelokan arah persidangan serta perlindungan terhadap Setya Novanto. Kekeruhan situasi kembali ditambah dengan ulah Setya yang ogah-ogahan memberikan keterangan secara jelas. Sikap Kahar Muzakir yang memperlakukan Sudirman Said sebagai pihak yang disudutkan dan ia dengan terang-terangan menolak memanggil pengusaha Reza Chalid yang ikut terlibat dalam rekaman tersebut juga semakin memperburuk situasi.
Perkembangan kasus ini berujung pada pengajuan surat pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR yang telah diajukan kepada pimpinan DPR lainnya. Namun apadaya, Setya Novanto tidak benar-benar mundur dari DPR, ia justru malah ditunjuk oleh Aburizal Bakrie sebagai ketua fraksi Golkar di DPR yang sedang dijabat oleh Ade Komaruddin. Sementara Ade menggantikan Setya sebagai Ketua DPR.
Tidak Tinggal Diam
Para netizen pun tidak tinggal diam dan angkat bicara lewat berbagai macam kritik baik melalui statusnya berupa teks tulisan, gambar meme, hingga video. Berbagai macam gerakan hashtag #MKDBobrok, #PapaMintaSaham, #SaveSudirmanSaid dan singkatan MKD menjadi bahan plesetan seperti Mahkamah Konco Dewe (Mahkamah Teman Sendiri), MahKamah Dagelan,menjadi contoh-contoh kritik tajam netizen terhadap Setya Novanto dan sejumlah anggota MKD seperti Kahar Muzakir yang dinilai publik membela Setya Novanto dan berupaya mengubah arah persidangan. Netizen juga membela dan memberikan dukungan moral terhadap Sudirman karena berani mengadukan seseorang tokoh yang menjadi kepala sebuah parlemen. Penulis akan mencantumkan beberapa kutipan status dari para netizen yang mengkritisi peristiwa ini.
“MKD sekarang seperti memperlakukan Sudirman Said seperti tersangka. Dia itu pelapor. Seharusnya keputusannya utk melapor harus diapresiasi.”
Dian Paramita (@dianparamita) 2 Desember 2015
@widyawatirita yang menulis “when exposing a crime is treated as commiting a crime, you are ruled by criminal,”
Komentar itu juga diperkuat oleh pernyataan salah satu stand-up comedian yang tajam mengkritik pemerintah lewat stand-up comedy-nya seperti Pandji Pragiwaksono, dalam status twitternya Pandji menulis:
“ini di sidang #mkd kesannya Sudirman Said yg disidang.”
Pandji Pragiwaksono (@pandji) 2 Desember 2015
Netizen juga mengungkapkan pandangan kritisnya terhadap proses hukum yang berlangsung dalam sidang MKD yang tidak berada pada jalurnya dan justru menyudutkan Sudirman Said sebagai pelapor.
"Sidang MKD menunjukkan, jangan sembarangan mengadukan anggota dewan jika tidak ingin dihakimi oleh mereka. Meskipun mereka bersalah," kata Gading Sahaja melalui @gadingsahaja.
"Menonton live sidang #MKD kok malah pengen nimpuk yang mulia anggota dewan berjubah ya," kata @goklastambunan.
Lainnya bertanya, "ini sidang MKD atau sidang pembelaan SN yah?" kata @JetVeetlev
"Udah lama nggak nonton sidang DPR. Lupa rasanya KESEL kayak gini. Sudirman Said yang sabar ya," kata Famega Syavira melalui @cyapila.
Gambar-gambar humor sarkastik juga membanjiri timeline twitter dan instagram
Kegaduhan timeline twitter, instagram, facebook dan media sosial lainnya terkait dengan kasus ini menunjukkan para netizen memiliki sentimen yang bisa dikatakan cetar membahana terhadap Setya dan MKD. Pada masa lalu jika seseorang dianggap melakukan penyimpangan seperti melakukan perampokan atau pemerkosaan maka orang tersebut diseret oleh masyarakat dan digiring ke lapangan luas untuk diadili dan dipermalukan di depan umum, pengadilan pada waktu itu masih bersifat lokal dalam lingkup kecil seperti di sebuah desa atau kota saja.
Namun sekarang dengan kehadiran media cetak, televisi ditambah internet khususnya media sosial, aksi public shaming masyarakat bisa mengaburkan keterbatasan yang ada seperti batasan geografis sehingga bisa dilakukan secara masif dan luas. Menurut David, dkk. (2011) dalam era modern ini ribuan hingga jutaan warga di sebuah negara bisa menggunakan media sosial dalam upaya melakukan public shaming terhadap seseorang atau kelompok yang dianggap melakukan penyimpangan melalui berbagai macam kritik lewat postingan ribuan status, gambar hingga video.
Tanggapan-tanggapan yang muncul merupakan bentuk penegasan netizen untuk mengkritik dan melawan Setya Novanto serta inkonsistensi keputusan dan ketidakpastian hukum berikut sikap penegak hukum dalam hal ini MKD. Kegiatan ini juga merupakan bentuk ekspresi protes masyarakat terhadap keadaan sosial yang tidak adil atau berbagai kekacauan, termasuk pemerasan dan penindasan oleh mereka yang menggunakan kekuasaan (Sartono, 1984).
Aksi public shaming terhadap Setya Novanto dan MKD membuktikan bahwa media komunikasi baru seperti media sosial bisa digunakan untuk meningkatkan keterlibatan warga dalam kehidupan berpolitik (Sassi, 2001). Public shaming secara online berperan dalam mereduksi ketidakadilan sosial dalam kehidupan publik. Public shaming menjadi cambukan keras terhadap Setya Novanto dan MKD untuk kembali ke jalan yang benar, tidak menutup-nutupi dan bersikap terbuka serta jujur menjunjung tinggi label perwakilan rakyat-nya. Public shaming melalui media sosial disusul dengan aksi nyata merupakan weapons of the weak masyarakat Indonesia dalam melakukan kontra-hegemonik dalam hal ini DPR dan semesta isinya.
Public shaming dalam kasus ini juga diwujudkan dengan aksi di dunia nyata secara langsung di depan gedung MPR/DPR/DPD RI bertepatan dengan hari antikorupsi sedunia, aksi ini membuktikan bahwa media sosial mampu secara tegas mereduksi kendala-kendala keterlibatan warga (the barriers to civic engagement) dalam mengemukakan pendapat, kritik, dan menggalang dukungan massa untuk melakukan gerakan nyata (Norris, 2000). Melalui public shaming secara online, masyarakat terstimulasi untuk memunculkan tindakan nyata. Para pegiat anti korupsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Aliansi Sehat Anti-Papa Minta Saham bersama salah satu grub band Efek Rumah Kaca beraksi melawan kekonyolan yang dilakukan oleh Ketua DPR dan pihak MKD, diiringi dengan lagu khusus yang ditulis oleh Efek Rumah Kaca berjudul “Mosi Tidak Percaya” ditambah dengan berbagai macam poster bertuliskan “DPR Jangan Lindungi Koruptor” dengan dukungan teriakan “Setya (Novanto) turun” dari para pendemo mewarnai jalannya aksi ini. Seperti dikutip dalam Kompas.com Lirik pembuka dari lagu Efek Rumah Kaca mencibir anggota DPR yang dinilai selalu mencari dalih dan alasan.
Public shaming juga bisa dikatakan sebagai kekerasan politik oleh masyarakat. Menurut Siahaan (2012) kekerasan politik dari masyarakat terjadi ketika anggota masyarakat marah karena terdapat kesenjangan antara value expectations (nilai harapan) dan value capabilities (nilai kemampuan) yang menimbulkan relative deprivation (deprivasi relatif) terhadap tindak tanduk penguasa. Apa yang dilakukan oleh Setya Novanto membuat masyarakat menjadi marah, ketika kondisi praktis dan budaya yang ada merangsang terjadinya agresi terhadap Setya Novanto beserta kawan-kawannya di DPR dan orang-orang yang terlibat dalam rekaman tersebut sebagai sasaran-sasaran politik dari masyarakat. Gerakan tersebut merupakan kombinasi antara spontanitas yang timbul dari identifikasi emosional bersama yang membludak.
Penulis harus mengakui, kombinasi public shaming secara online dengan dukungan aksi nyata yang hebat mampu memberikan tekanan keras terhadap DPR dan seisinya untuk tidak bersikap sakarep e dewe. Suka atau tidak suka, apa yang dilakukan oleh netizen melalui dua kombinasi ini menjadi bentuk pembangkangan sipil. Hal tersebut merupakan upaya rakyat menempuh jalur alternatif dalam melakukan perlawanan, sebagaimana dikutip dari Eekstein (1989) mengatakan bahwa jika masyarakat melawan, melakukan pemberontakan, hal tersebut terjadi karena terbatasnya berbagai sarana yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan terhadap perubahan.
Kasus seperti ini membuat jengah masyarakat akan sikap anggota DPR yang bertindak seenaknya dan sarat akan konflik kepentingan. Selain itu, kasus ini amat merusak citra DPR dari dalam sebagai lembaga dengan label berat “Perwakilan Rakyat”. Hal ini juga merupakan reaksi atas dua hal. Pertama, di mata masyarakat sipil anggota DPR tidak bisa lagi diharapkan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Proses hukum yang berlangsung di MKD mengabaikan nalar dan rasa keadilan publik. Kedua, aksi ini juga sebagai saluran alternatif akibat tersumbatnya saluran demokrasi resmi, sekaligus reaksi terhadap praktik-praktik kartel politik yang dipertontonkan secara telanjang oleh partai-partai politik yang ada di DPR. Partai politik yang sejatinya menjadi alat perjuangan rakyat lebih suka bersekutu dengan penguasa dan pemilik kepentingan pribadi. Semakin sering anggota DPR, elit politik, elit pemerintahan berbuat ulah, mengurusi kepentingannya sendiri, maka bukan tidak mungkin fenomena relative deprivation berubah menjadi progressive deprivation akan terjadi di negeri ini. Jika itu terjadi, maka gerakan rakyat cenderung berkembang ke arah budaya kekerasan politik dan kolektif yang radikal.
Perlawanan netizen melalui public shaming dan aksi rill di lapangan merupakan sindiran bahwa kekuasaan tidak dilawan dengan kekerasan, tetapi dengan wacana yang santai. Kekuasaan diolok-olok, diledek, dicemooh, dalam wacana-wacana yang sengaja dibuat untuk mendelegitimasi praktik-praktik kekuasaan yang kotor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H