Aksi public shaming terhadap Setya Novanto dan MKD membuktikan bahwa media komunikasi baru seperti media sosial bisa digunakan untuk meningkatkan keterlibatan warga dalam kehidupan berpolitik (Sassi, 2001). Public shaming secara online berperan dalam mereduksi ketidakadilan sosial dalam kehidupan publik. Public shaming menjadi cambukan keras terhadap Setya Novanto dan MKD untuk kembali ke jalan yang benar, tidak menutup-nutupi dan bersikap terbuka serta jujur menjunjung tinggi label perwakilan rakyat-nya. Public shaming melalui media sosial disusul dengan aksi nyata merupakan weapons of the weak masyarakat Indonesia dalam melakukan kontra-hegemonik dalam hal ini DPR dan semesta isinya.
Public shaming dalam kasus ini juga diwujudkan dengan aksi di dunia nyata secara langsung di depan gedung MPR/DPR/DPD RI bertepatan dengan hari antikorupsi sedunia, aksi ini membuktikan bahwa media sosial mampu secara tegas mereduksi kendala-kendala keterlibatan warga (the barriers to civic engagement) dalam mengemukakan pendapat, kritik, dan menggalang dukungan massa untuk melakukan gerakan nyata (Norris, 2000). Melalui public shaming secara online, masyarakat terstimulasi untuk memunculkan tindakan nyata. Para pegiat anti korupsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Aliansi Sehat Anti-Papa Minta Saham bersama salah satu grub band Efek Rumah Kaca beraksi melawan kekonyolan yang dilakukan oleh Ketua DPR dan pihak MKD, diiringi dengan lagu khusus yang ditulis oleh Efek Rumah Kaca berjudul “Mosi Tidak Percaya” ditambah dengan berbagai macam poster bertuliskan “DPR Jangan Lindungi Koruptor” dengan dukungan teriakan “Setya (Novanto) turun” dari para pendemo mewarnai jalannya aksi ini. Seperti dikutip dalam Kompas.com Lirik pembuka dari lagu Efek Rumah Kaca mencibir anggota DPR yang dinilai selalu mencari dalih dan alasan.
Public shaming juga bisa dikatakan sebagai kekerasan politik oleh masyarakat. Menurut Siahaan (2012) kekerasan politik dari masyarakat terjadi ketika anggota masyarakat marah karena terdapat kesenjangan antara value expectations (nilai harapan) dan value capabilities (nilai kemampuan) yang menimbulkan relative deprivation (deprivasi relatif) terhadap tindak tanduk penguasa. Apa yang dilakukan oleh Setya Novanto membuat masyarakat menjadi marah, ketika kondisi praktis dan budaya yang ada merangsang terjadinya agresi terhadap Setya Novanto beserta kawan-kawannya di DPR dan orang-orang yang terlibat dalam rekaman tersebut sebagai sasaran-sasaran politik dari masyarakat. Gerakan tersebut merupakan kombinasi antara spontanitas yang timbul dari identifikasi emosional bersama yang membludak.
Penulis harus mengakui, kombinasi public shaming secara online dengan dukungan aksi nyata yang hebat mampu memberikan tekanan keras terhadap DPR dan seisinya untuk tidak bersikap sakarep e dewe. Suka atau tidak suka, apa yang dilakukan oleh netizen melalui dua kombinasi ini menjadi bentuk pembangkangan sipil. Hal tersebut merupakan upaya rakyat menempuh jalur alternatif dalam melakukan perlawanan, sebagaimana dikutip dari Eekstein (1989) mengatakan bahwa jika masyarakat melawan, melakukan pemberontakan, hal tersebut terjadi karena terbatasnya berbagai sarana yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan terhadap perubahan.
Kasus seperti ini membuat jengah masyarakat akan sikap anggota DPR yang bertindak seenaknya dan sarat akan konflik kepentingan. Selain itu, kasus ini amat merusak citra DPR dari dalam sebagai lembaga dengan label berat “Perwakilan Rakyat”. Hal ini juga merupakan reaksi atas dua hal. Pertama, di mata masyarakat sipil anggota DPR tidak bisa lagi diharapkan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Proses hukum yang berlangsung di MKD mengabaikan nalar dan rasa keadilan publik. Kedua, aksi ini juga sebagai saluran alternatif akibat tersumbatnya saluran demokrasi resmi, sekaligus reaksi terhadap praktik-praktik kartel politik yang dipertontonkan secara telanjang oleh partai-partai politik yang ada di DPR. Partai politik yang sejatinya menjadi alat perjuangan rakyat lebih suka bersekutu dengan penguasa dan pemilik kepentingan pribadi. Semakin sering anggota DPR, elit politik, elit pemerintahan berbuat ulah, mengurusi kepentingannya sendiri, maka bukan tidak mungkin fenomena relative deprivation berubah menjadi progressive deprivation akan terjadi di negeri ini. Jika itu terjadi, maka gerakan rakyat cenderung berkembang ke arah budaya kekerasan politik dan kolektif yang radikal.
Perlawanan netizen melalui public shaming dan aksi rill di lapangan merupakan sindiran bahwa kekuasaan tidak dilawan dengan kekerasan, tetapi dengan wacana yang santai. Kekuasaan diolok-olok, diledek, dicemooh, dalam wacana-wacana yang sengaja dibuat untuk mendelegitimasi praktik-praktik kekuasaan yang kotor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H