Pada bab 1 ini menjelaskan tentang apakah sastra? bahasa lisan-bahasa tulis-sastra. Pada materi pertama bab ini dijelaskan tentang masalah peristilahan sastra. Ilmu sastra adalah ilmu yang istumewa karena pada sastra objek utama penelitiannya tidak tentu, dan malah tidak karuan. Sehingga sampai sekarang belum ada yang dapat memberi penjelasan dengan jelas pengertian sastra.Â
Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk memberi jawaban dari pertanyaan tersebut, tetapi jawaban manapun yang pernah diberikan oleh ilmuan ternyata ditolak, dan terbukti tak dapat menyatakan jawaban sastra terhadap keseluruhan dan hanya dpat menjawab dari 1 karya sastra.
Bab ini merupakan pengantar yang akan membicarakan permasalahan khususnya berdasarkan pendekatan yang dari dahulu sering dipakai yaitu pendekatan yang menyamakan sastra dengan bahan tulisan. Sering kali secara umum dapat dikatakan definisi sebuah gejala dapat kita dekati dari namanya. Sudah tentu definisi semacam itu biasanya tidak sempurna,harus diperhalus atau diperketat lagi. Meskipun begitu manfaat tinjauan dari segi pemakaian bahasa sehari-hari sebagai titik tolak sering kali cukup baik. Dalam bahasa-bahasa lain biasanya diambil dari beberapa negara yang biasanya mempunyai satu bahsa sebagai patokan dan artinya akan sama dan sesuai.
Sebagai perbandingan, kata sastra dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa sansakerta , akar kata hs-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk. Akhiran --tra berarti alat atau sarana. Sehingga dapat diartikan sastra adalah alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan su- berarti baik atau indah. Ada beberapa kata lain yang diambil dari bahasa lain seperti pustaka dari bahasa sansakerta yang berarti buku, berdasarkan bahasa Cina kata sastra berarti ikatan, tenunan, pola, struktur, susunan.
Ciri-ciri dari bahasa tulis. Pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan menunjukan sebiah keistimewaan yang jelas, ciri-ciri bahasa lisan ada tujuh sebagai berikut. Pertama, dalam pemakaian bahasa tertulis si pembicara(penulis) maupun pendengar(pembaca) kehilangan sarana komunikasi yang disebut suprasegmental ialah gejala intonasi yang diberikan untuk lebih memahami pemakaian kata dan kalimat. Kedua, dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara penulis dan pembaca, yaitu tidak dapat melihat gerak gerik pembicara untuk menyampaikan maksud tertentu.Â
Ketiga, dalam teks tertulis biasanya penulis tidak hadir sebagian atau keseluruhan, dengan adanya teks anonym sehingga kita harus mencari tahu sendiri. Keempat, teks tertulis juga mungkin untuk lepas dari kerangka referensi aslinya, karena imajinasi sang pembaca berbeda dengan imajinasi penulis. Kelima, tulisan dapat dibaca berulang-ulang. Keenam, teks tertulis di reproduksi dalam berbagai bentuk, sehingga jangkauannya lebih luas. Ketujuh, komunikasi antara pembaca dan penulis memungkinkan menghasilkan jarak karena perbedaan waktu, tempat, dan kebudayaan.
Dijelaskan juga cara menangani agar bahasa tulis sama dengan bahasa lisan dilihat dari tujuh ciri yang sebelumnya sudah dijelaskan. Pertama, karena kemungkinan untuk mengungkapkan sarana suprasegmental dan para lingual sangat terbatas maka penulis harus mengusahakan perumusan kata dan klimat yang teliti dan setepat mungkin. Kedua, karena dalam situasi bahasa tulis si pembicara(penulis) bukanlah faktor yang tersedia dalam tindak komunikasi maka faktor ini pun dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra dengan pemakaian kata ganti sebagai aku dalam ujaran yang normal acuan kata aku yang jelas yaitu merujuk pada si tokoh dalam karya tersebut bukan aku(pembaca). Ketiga, karena hubungan antara karya sastra dan penulis tidak jelas, seringkali putus sama dengan sendirinya tulisan ini akan semakin penting dan menjadi pusat perhatian pembaca. Keempat, hal itu dapat diperkuat lagi karena dalam situasi komunikasi tulisan yaitu hal dalam kenyataan yang ditunjukkan dalam tindak ujaran yang biasa mungkin tidak jelas dan samar-samar maka harus diperjelas lagi. Kelima, kemungkinan permainan konvensi yang makin ruwet makin menyesatkan pembaca karena kompleksitas makna berhubungan juga dengan mentalitas karya sastra sehingga para pembaca harus membaca sampai selesai karya tersebut sehingga dapat mengambil makna yang terkandung. Keenam, reproduksi sudah sangat banyak dan bagus sehingga banyak yang membaca atau melihat karya tersebut. Ketujuh, karena karya sastra tulis dapat disimpan sehingga dalam waktu lama akan tetap terjaga dengan baik dan dapat dibaca oleh semua kalangan.
Sastra tidak identik dengan bahasa karena dilihat dari ciri-cirinya tadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulisan terdapat beberapa perbedaan. walaupun ada perbedaan ciri tetapi tidak ada garis pemisah antara sastra lisan dan sastra lisan yaitu di pulau Jawa Madura Bali Lombok dan Sumatera sastra sebagian diturunkan dan disimpan dalam naskah-naskah yang tertulis tetapi di pulau Bali dan tembang Jawa penulis tidak lagi termasuk saluran komunikasi. kesimpulan yang penting dalam hubungan ini tidak ada kriteria yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra ada pula yang bukan sastra dan sebaliknya ada sastra tulis dan ada pula sastra lisan tolak ukur untuk membedakan sastra dengan bukan sastra harus dicari di bidang lain.Â
Selanjutnya yaitu bab 3 tentang karya sastra dan bahasanya. Bahasa sastra sebagai bahasa yang khas. Sudah menjadi gambaran umum bahwa bahasa satra adalah bahasa yang special, dan menyimpang dari bahasa sehari-hari. Memang betul bahwa dalam sastra sukar sekali ditemukan bahasa sehari-hari contohnya didalam puisi memakai prosa yang lebih sulit dan membuat suatu bahasa istimewa terhadap bahasa normal atau yang digunakan sehari-hari. Dalam ilmu sastra keistimewaan dalam bahasa sastra khususnya puisi sangat ditonjolkan, dan dibedakan menjadi 2 artes yaitu grammatical(ilmu untuk berbicara secara tepat) dan rhetorica(kepandaian mengatakan sesuatu secara baik).
Dalam teori jacobson, kaum formalis tidak puas dengan penelitian sastra yang bersifat sosiologis atau psikologis ataupun bersifat sejarah. Para formalis ingin kembali ke hakikat puisi yaitu pemakaian bahasa. Pada tahun 1921 Jakobson merumuskan prinsip sastra yaitu puisi adalah ungkapan yang terarah ke ragam melahirkannya, definisi ini diulang dalam tahun 1960 dalam bentuk yang agak lain tetapi prinsipnya tetap sama yaitu fungsi putik bahasa ialah perumusan perhatian pada pesan dan kesan itu sendiri atau keterarahan ke pesan itu sendiri. Kemudian jacobson menguraikan prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi yaitu fungsi puitik memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi parataksis juga boleh disebut paradigma batik kombinasi sintaksis.
Jakobson dalam studi hadis yang mengandung analisis sajak tertentu memperlihatkan apa yang dimaksudnya dengan prinsip ekuivalensi. Dalam tulisan sajak tersebut dikupas secara sangat mendetail dengan menunjukkan segala macam ekuivalensi yang terdapat di dalamnya. Dijelaskan juga sebagai tambahan hal yang ditekankan jakobson bahwa sebagai variasi terhadap ekuivalensi justru juga seringkali dipakai penyimpangan dari ekuivalensi dan yang disebut antisimetri misalnya penyimpangan dari rima atau matra yang diharapkan.