Lalu jauh hari sebelum ulah Dandy, kekuatan warganet juga sudah terlihat digdaya. Salah satu aksi warganet yang paling happening terjadi pada pengujung tahun lalu. Suara warganet ini sukses mendorong institusi Polri untuk secara serius menangani kasus polisi tembak polisi dengan lakon utamanya adalah Ferdy Sambo yang saat itu menjabat sebagai kepala Divisi Propam Polri. Â kicauan publik juga menghiasi daftar trending topic saat aksi arogan remaja pengguna mobil Fortuner merusak mobil Brio di Senopati, Jakarta Selatan. Pengguna Fortuner itu ternyata masih remaja dengan latar belakang orangtuanya sebagai lawyer yang sedang menangani kasus besar belakangan ini. Gerakan massa secara virtual ini membuktikan bahwa suara publik tak selamanya dapat difilterisasi atau ditiadakan oleh penguasa maupun kaum pemilik modal. Algoritma digital telah memberi kesempatan kepada warganet untuk membuat suaranya tetap terdengar.
Luapan cuitan publik ini menjadi semacam oase di saat saluran komunikasi media arus utama dinilai sudah bias kepentingan dan tak lagi bersikap independen dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi. Bahkan, kecepatan kerja warganet ini seolah melebihi kemampuan kerja intelijen dalam mengumpulkan informasi penting. Di sini, semua hal yang berkaitan dengan sebuah isu negatif yang sedang trending, maka warganet akan gerak cepat (gercep) untuk memenuhi rasa kepo atau ingin tahu. Dalam ranah ilmu psikologi, rasa kepo ini digambarkan sebagai "dorongan menuju kesadaran yang lebih baik." Hal itu merupakan naluri alami yang dimiliki setiap diri manusia yang selalu ingin mencari informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H