Mohon tunggu...
Dyana Ulfach
Dyana Ulfach Mohon Tunggu... -

pelajar di SMK N 11 Semarang, Hobi menulis, suka kebebasan, musik, menyukai semua yang berhubungan dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Ibu

14 Januari 2019   15:23 Diperbarui: 14 Januari 2019   15:25 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku terbelalak melihanya, reflek, aku menerobos barisan Ibu-ibu termasuk mbak Prapti  yang memenuhi pintu. Aku berlari ke arah Bapak. Dan berhenti di hadapannya.

"Pak, Ibu meninggal."

Tubuh bapakku tak bisa tegap. Sekali melangkah, tubuhnya mendoyong-doyong. Seperti adegan Jacky Chan sedang mabuk.

"Ini apa rame-rame dirumahku?!" Ucapnya keras sambil menyodorkan botol kaca berwarna hijau ke arah Ibu-ibu . Ibu-ibu itu takut dan mencoba menjauh dari Bapak.

"Ibu meninggal, Pak!"

Aku berteriak tanpa sadar aku juga sedang menangis. Menangisi Ibu yang tak lagi disini, dan menangisi sikap Bapak yang seperti monster yang ditakuti oleh Ibu-ibu. Bahkan semakin lama, tingkah Bapak semakin menjadi-jadi. Kursi-kursi dia buang, sampai-sampai botol hijaunya dia banting keras sekali di dekatku.

Mbak Prapti memelukku dan diangkatlah aku ke rumahnya. Tangisku makin menjadi-jadi. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di rumahku. Sekilas aku melihat Bapak tergeletak di tanah. Mas Parjo dan Pak RT pun membawanya entah kemana. Bayangan Bapak hilang ketika aku masuk ke rumah mbak Prapti.

 Kenangan demi kenangan kerasnya bapakku mulai menggerogoti hidupku yang awalnya normal-normal saja bersama Ibu. Sepeninggal Ibu, Bapak sering pulang malam bahkan tak jarang dalam sehari Bapak tak pulang. Bapak tidak pernah lagi mengantarkan aku sekolah. Aku harus bangun lebih pagi untuk berangkat sekolah dengan jalan kaki sejauh 500m.

Sepeninggal Ibu, aku sering diurus mbak Prapti. Mbak Prapti sering membelikan aku mainan, mengirimi aku makan, dan tak jarang kalau Bapak tidak pulang, aku diminta menginap di rumahnya.

 Kali ini, setelah kejadian demi kejadian sepuluh tahun yang lalu itu mulai aku lupakan, aku metutup pintu cukup keras, meninggalkan Bapak sendiri yang sedang asik dengan rokoknya di rumah. Tak peduli apa yang Bapakku pikirkan tentangku, toh dia juga tidak akan peduli. Tujuh belas tahun aku hidup dengannya, aku cukup tahu sikap dia yang tidak pernah sekalipun sejalan dengan pikiranku.

Aku memutuskan pergi baik-baik dari Bapak. Bahkan dia tidak peduli aku pergi kemana dan kapan aku akan kembali. Aku haus kasih sayang dari seorang orangtua terlebih Ibu. 10 tahun sudah aku hidup merana dengan kerasnya sikap Bapak dan kemuakanku memuncak hari ini. Aku minggat. Entah, aku akan kembali atau tidak, aku tak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun