Dua jam perjalanan dari Makasar ke Jakarta dengan GA 641 tak dapat membuatku jatuh tertidur. Biasanya aku begitu mudah jatuh tertidur bahkan sebelum pesawat take off. Namun kini sudah hampir setengah perjalanan mataku masih terbuka lebar. Di kiriku aku bisa melihat lima puncak gunung berapi dikejauhan, biru kerucut menembus lapisan awan. Pesawat yang kunaiki terbang lebih dari 3000 kaki, berada di atas lapisan awan. Barangkali karena Caramel Machiato. Aku memang sensitive dengan kopi.
Kursi-kursi penumpang tak terisi penuh. Menurut pramugara yang bertugas, pesawat yang kunaiki ini terbanga dari Ambon, transit di Makasar untuk mengambil penumpang dengan tujuan akhir Jakarta. Sebuah perjalanan yang panjang dan aku sama sekali tek berminat menghidupkan layar entertain di hadapanku. Beberapa kali mencoba untuk tidur, namun gagal.
Membolak-balik halaman Kompas membuatku menemukan dua buah kata yang tak asing bagiku, "Koh Samui". Aku seperti menemukan kembali sebuah potongan kecil dalam hidupku yang telah lama terbenam muncul kembali  permukaan.
"Pesona The Neked House," begitu judul artikel kecil yang tidak terlalu penting itu. Semula aku hanya tertarik dengan gaya rumah berarsitektur minimalis pada foto yang menyertai artikel itu. Dan ternyata rumah itu berdiri di Koh Samui, Thailand, kawasan berbukit-bukit dengan panorama hamparan laut di hadapannya. Pasti kawasan itu sangatlah indah hingga membuat seorang arsitek yang telah lelah berkelana, menambatkan hidupnya di sana dan membangun sebuah rumah seperti impiannya, sederhana dan fungsional seperti judulnya, "The Neked House!"
Sementara Koh Samui yang kukenal adalah nama sebuah restoran di kota Ipoh. Memakan waktu dua jam perjalanan berkendara dari Kuala Lumpur ke Ipoh. Sebagai sebuah kota, Ipoh menurutku sangat sepi, cenderung tua dan antik. Bahkan sewaktu Brian dan Connie masih ada menemani kami di sana, kami menghabiskan makan malam sudut kota, pada sebuah restoran yang tidak ramai. Sepanjang perjalanan, ku dengan Liu Lynn bergumam, "So quiet..." aksen Inggrisnya terdengar aneh di telingaku. Sementara Brian menyukai rumah-rumah tua berhalaman luas yang kami temui di sepanjang perjalanan.
"I like the houses here, it's looks like in JB." JB yang dia maksud adalah Johar Bahru, tempat tinggalnya bersama keluarganya, sementara dia sendiri masih berkebangsaan Taiwan.
Hotel Regency Tower menjadi satu-satunya hotel rekomendasi bagi kami. Selain terdekat dengan rumah sakit tempat kami akan melakukan ME (Market Evaluation), juga adalah hotel terbaik dan berada di pusat kota. Pusat kota di sini hanya terdiri dari beberapa blok ruko yang sepi.
Bosan dengan makanan India yang Connie rekomendasikan, aku bersama Lynn mencoba menemukan makanan lain. Brian dan Connie hanya menemani kami di hari pertama. Tiga hari berikutnya kami hanya berdua. Dua orang asing di kota antik dan sepi. Tentunya yang sulit adalah menemukan makanan halal untukku. Sebelum meninggalkan kami, Connie beberapa kali berpesan untuk berhati-hati memilih restoran untukku. Karena sebagian besar restoran di sini sebagian besar menyajikan Pork. Dia hanya merekomendasikan restoran halal, India yang aku dan Lynn tidak menyukainya.
"I'm sorry Lynn, I don't eat pork. If you are hungry you can eat. I'm waiting than after that we can find halal food for me," saranku setelah beberapa rumah makan yang kami sambangi tidak menyajikan makanan halal.
"Let's try another one," tolaknya dengan aksen cina yang masih kental. Aku tahu sesungguhnya dia sudah sangat lapar. Kasihan!
Akhirnya kami menemukannya, "Koh Samui", restoran berlogo halal yang berada di sebuah ruko tua. Sayangnya masih tutup. Baru buka kembali setelah pukul 16.
Ya, menurut pengakuan seorang ibu yang kami tanyai di jalan tadi sebagian besar ruko-roko di sini hanya buka menjelang makan siang. Setelah itu tutup dan baru akan buka kembali untuk menyajikan makan malam. Wah... teratur sekali ya kehidupan di sini, seperti tak ada persaingan bisnis. Menandakan beban kehidupan dan ekonomi tidak separah di Indonesia dan di Cina. Aku dan Lynn geleng-geleng kepala.
Kami berjalan-jalan beberapa blok menyusuri ruko-ruko yang sebagian besar tutup, sekadar menghabiskan waktu. Masih satu jam lagi hingga Koh Samui buka. Kami menemukan sekawanan merpati yang sangat jinak di sudur jalan. Mereka sama sekali tak terganggu dengan kehadiran kami yang kian mendekat. Mereka hanya akan terbang jika benar-benar merasa tertanggu. Seperti saat aku dengan sengaja menghentakkan kaki di dekat mereka. Kami juga menemukan penjual milk soya sebagai penawar rasa lapar. Menurut Connie Ipoh juga terkenal dengan milk soya, biskuit dan salty chicken.
Perjuangan kami tak sia-sia menunggu hingga Koh Samui buka. Makanan yang disajikan di sana sangatlah lezat. Pemilik restoran, wanita paruh baya yang sangat mengerti bagaimana mengambil hati kami adalah penduduk Ipoh asli yang telah banyak melakukan perjalanan ke beberapa negara. Dia bahkan dapat menyebutkan beberapa makanan lokal dari Cina begitu mengetahui Lynn berasal dari Wuxi. Dia juga sangat lancar menyebutkan perkedel, sop buntut dan sate saat mengetahui aku berasal dari Indonesia. Dia memberikan dua jempol pada ketiga makanan tadi. Kami sempat berfoto-foto bersamanya.
Bye... bye... Koh Samui! Aku mengerti sekarang, pasti sang pemilik restoran juga terpikat dengan kawasan Koh Samui. Semoga suatu saat aku kan dapat menjejakkan kakiku di sana, sebuah kawasan berbukit-bukit dengan panorama hamparan laut di hadapannya, luas dan hening.
@ GA 641, 1-9-2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H