Cuci tangan, social distancing, konsumsi makanan bernutrisi, belajar online
Adalah istilah-istilah yang sering kita dengar di masa wabah virus Covid-19. Sementara itu para front-liner, paramedis, polisi, pegawai retail terus bekerja on the spot dikala sebagian orang melakukan Work from Home (WFH).
Aktivitas seakan melambat karena hambatan untuk membiasakan diri bekerja dengan sistem daring/online dengan selingan kuat untuk mengikuti perkembangan virus corona yang berkembang di Indonesia dan di berbagai negara.
Bagi para WFH-ers yang sudah berkeluarga harus membagi tanggung jawab dengan anak-anak yang sekolahnya diliburkan untuk sementara.
Perubahan drastis akibat virus corona
Di daerah-daerah yang terdampak secara berat seperti di daratan Eropa dan sebagian daerah di Asia yang telah melakukan lockdown, suasana berganti dengan pesat. Minggu lalu masih relatif santai, akhir minggu kemudian terjadi pengumuman measurement yang beruntun dan drastis menambah kegelisahan ketika setiap hari memantau jumlah pasien terinfeksi virus corona naik secara eksponensial. Tentunya kita tidak berharap hal ini terjadi di Indonesia.
Informasi dari pemerintah, WHO maupun berbagai media nasional dan internasional mengatakan bahwa penyakit ini seringkali menunjukkan gejala yang lemah untuk penderita bukan lansia atau beriwayat penyakit, bukan berarti kita akan membiarkan penyakit ini berkembang terus selama vaksin belum ditemukan. Disamping dampak ekonomi yang telah nyata membuat jatuh banyak sektor industri dan wisata yang berarti juga jatuhnya banyak pekerja yang menghidupi keluarganya.
Dengan adanya arus informasi yang cepat dan simultan, banyak orang tiba-tiba menjadi ahli tentang fenomena ini. Muncul berbagai pro-kontra tentang sikap yang diambil pemerintah yang pada dasarnya dengan mudah bisa-bisa saja dibenturkan dengan isu agama atau politik yang berpotensi menimbulkan perselisihan. Perlu diyakini bahwa kejadian ini hendaklah dihadapi sebagai musuh bersama, bukan saat untuk memunculkan ketegangan.
Pergeseran posisi media sosial
Grup-grup sosial media baik grup chat atau grup video-call bermunculan untuk mewadahi hasrat makhluk sosial untuk berkumpul dan bertukar pikiran. Disrupsi virus corona ini memunculkan tren sosialisasi 'lama' tapi 'baru'. Bermedia sosial dalam kurun waktu terakhir sering dianggap memiliki sisi negatif sebagai pengabaian ketika sekelompok orang berkumpul. Baik berkumpul secara sengaja seperti kopi darat dengan teman atau rekan bisnis, maupun, ketika berada di area publik seperti sarana transportasi atau ketika berada di lift misalnya.
Saat ini media sosial merupakan satu-satunya cara untuk bisa berinteraksi dengan kawan, saudara, maupun kolega. Menjadi 'baru' karena posisinya naik kelas menjadi media untuk reunite disaat agenda untuk berkumpul secara fisik belum dimungkinkan di tengah keadaan yang berubah secara cepat.
Akan tetapi fenomena ini tidak bisa serta merta disamakan dengan keadaan ketika bencana alam misalnya. Dimana terdapat kemungkinan gangguan atau pemadaman jaringan listrik dan ketiadaan akses internet. Demikian pula halnya seperti kondisi yang dialami daerah tanpa jaringan infrastruktur yang memadai karena memang belum tersedia.
Transformasi mendadak ke online
Berdasarkan data UNESCO, saat ini 160 negara di dunia terpaksa untuk menutup sekolah secara nasional maupun lokal demi mencegah wabah ini menyerang lebih banyak orang. Angka ini kemungkinan masih berkembang jika melihat kecenderungan wabah virus yang belum menurun angkanya.
Pada minggu kedua Maret 2020, penulis mengamati telah terjadi perubahan yang sangat cepat di institusi pendidikan menyikapi keputusan dari pemerintah terkait virus corona.
Setidaknya di Indonesia dan Belanda mengalaminya pada periode waktu yang sama, dengan catatan, hasil laporan kasus terdampak virus Covid-19 di Indonesia pada saat artikel ini ditulis adalah 893 orang (kompas.com). Jumlah penderita jauh lebih banyak di Belanda, yakni 6.412 orang (rivm.nl).
Pendidikan jarak jauh (distance learning) menjadi solusi ketika peraturan jarak sosial untuk berhubungan diberlakukan. Tentunya seperti yang banyak diduga masyarakat, sistem ini tidak sepenuhnya efektif. Kepemilikan dawai elektronik dan sambungan internet adalah masalah utama. Jika di negara maju, sekolah atau universitas memiliki kesempatan untuk bisa membantu akses ini dengan cara meminjamkannya kepada peserta didik, di Indonesia, keadaannya lebih rumit karena keterbatasan prasarana dan kuota internet.
Hal lain adalah kemandirian dan kesadaran mahasiswa untuk bertransformasi mengikuti kegiatan akademik secara daring. Walaupun mungkin ini bukan hal yang baru lagi bagi para pengajar maupun mahasiswa yang pernah mengikuti MOOC (Massive Open Online Courses). Hanya saja, tidak setiap mata kuliah dipersiapkan untuk metode ini. Para guru dan dosen bekerja keras mengawal keberlangsungan pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai jenis media pembelajaran misalnya google classroom maupun dengan media pembelajaran online milik sekolah atau universitas di negara masing-masing.
Konsekuensi pembelajaran daring
Di sisi lain, untuk siswa sekolah kesadaran untuk belajar memerlukan dukungan orang tua. Sedangkan tidak setiap orang tua memiliki latar belakang sumberdaya manusia dan prasarana yang medukung. Terdapat pula kemungkinan anak tidak mendapatkan kesempatan pendampingan sehingga akan mengalami tekanan materi pelajaran ataupun sosial dari teman sebayanya.
Untuk para orang tua yang memiliki waktu kerja lebih fleksibel, mendampingi anak menjadi trade-off dengan produktivitas kerja atau pendapatan keluarga. Sedangkan untuk orang tua yang berprofesi sebagai garda terdepan dalam mengatasi virus ini, kehadiran dukungan mereka untuk pendidikan anak memiliki konsekuensi pada berkurangnya layanan masyarakat. Walaupun demikian, beban ini tidak terlalu berimbas pada orang tua dari peserta didik tingkat perguruan tinggi.
Pergeseran pendidikan menjadi daring diharapkan mampu mengejar target pendidikan yang seharusnya dicapai. Akan tetapi kebutuhan untuk interaksi secara langsung tidak dapat diperoleh, padahal hal ini penting untuk perkembangan pembelajaran.
Perlu kita sadari bahwa di saat ini, metode ini sudah banyak ditawarkan seperti webinar, online course dan sebagainya. Hanya saja sekarang kita melakukannya dalam skala besar dan menyentak karena tidak ada pilihan. Wabah virus corona ini memberikan pelajaran bagi kita bagaimana memitigasi pendidikan dengan mengerahkan segala daya dan kreativitas. Pergerakan ini terasa lambat di awal, karena semua pihak sedang dalam penyesuaian. Setiap perubahan membutuhkan proses dan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H