"Perlakukanlah tubuh dengan bijaksana."
Saya selalu beranggapan bahwa beryoga--dan berolah raga pada umumnya--adalah cara yang baik untuk 'berkomunikasi' dengan diri kita sendiri, baik secara fisik, emosional, bahkan sangat mungkin juga secara spiritual. Beberapa kali saya mengistilahkan berolah raga sebagai saatnya saya untuk ngobrol dengan diri saya sendiri, karena memang begitulah adanya. Berolah raga memang melatih kesadaran saya dalam menjadi diri saya sendiri.
Kedua kecenderungan inilah yang seringkali menghilangkan kesadaran saya dalam menerapkan ahimsa.
Sayangnya, salah satu kendala utama saya dalam berkomunikasi adalah sifat saya yang tidak sabaran. Karena sifat ini, saya memiliki dua kecenderungan utama: 1) kurang baik sebagai pendengar, dan 2) mencari 'jalan pintas' ketika menyampaikan sesuatu. Kedua kecenderungan inilah yang seringkali menghilangkan kesadaran saya dalam menerapkan ahimsa.
Suara yang lebih lantang, nada bicara yang keras, dan penyampaian yang galak memang sangat efektif untuk membuat apa yang saya sampaikan menjadi lebih terdengar dan diperhatikan oleh lawan bicara saya. Karena itu, seringkali godaan untuk menyampaikan pendapat dengan cara tersebut menjadi pilihan saya untuk menyampaikan sesuatu yang--menurut saya--penting. Contoh yang paling sederhana dan dekat dengan keseharian adalah cara saya mengungkapkan ketidaksukaan pada sesuatu yang suami saya lakukan. Sering sekali saya menyampaikannya dengan nada yang ketus tanpa menyadari bahwa yang saya lakukan itu tidak jauh berbeda dari menimpuk suami saya dengan berlian.
Sebenarnya, saya hanya menghujani diri saya sendiri dengan timpukan berlian.
Itu juga yang terjadi setiap kali saya memaksakan diri untuk menambah jarak lari saya dengan drastis, ketika saya berambisi membalap pengendara sepeda yang ada di depan saya, atau menentukan target hitungan reps yang jauh melebihi kapasitas tubuh saat melakukan circuit training. Tujuan baik untuk meningkatkan kemampuan fisik tubuh saya sampaikan dengan cara yang terlalu sadis, yang--saya kira--akan mempersingkat waktu untuk menjadikan tubuh saya lebih kuat. Sebenarnya, saya hanya menghujani diri saya sendiri dengan timpukan berlian.
Berhubung saya adalah salah satu orang yang mengamini prinsip 'be the change you wish to see in the world', sepertinya akan sangat masuk akal kalau saya memutuskan untuk menerapkan prinsip ahimsa dalam 'berkomunikasi' dengan diri saya sambil membiasakan diri untuk menerapkannya ketika berkomunikasi dengan orang lain. Selain mengurangi rasa 'sakit' dalam hati sendiri dan orang-orang di sekitar saya, saya juga yakin bahwa berlian akan jauh lebih bermanfaat jika dijadikan perhiasan daripada untuk ditimpuk-timpukkan ke sana ke mari.
Mari mencoba menjadi orang baik untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Namasté :)