'An old Cherokee is teaching his grandson about life. "A fight is going on inside me," he said to the boy.
"It is a terrible fight and it is between two wolves. One is evil--he is anger, envy, sorrow, regret, greed, arrogance, self-pity, guilt, resentment, inferiority, lies, false pride, superiority, and ego." He continued, "The other is good--he is joy, peace, love, hope, serenity, humility, kindness, benevolence, empathy, generosity, truth, compassion, and faith. The same fight is going on inside you--and inside every other person, too."
The grandson thought about it for a minute and then asked his grandfather, "Which wolf will win?"
The old Cherokee simply replied, "The one you feed."'
Seperti kebanyakan orang, perkenalan saya dengan rutinitas olah raga dimulai dari ketidaknyamanan yang saya rasakan pada tubuh saya. Selain mudah terkena penyakit, saya juga selalu terganggu oleh nyeri haid yang luar biasa setiap bulan. Lalu saya pun juga gampang sekali merasa capek, hampir selalu merasa kurang istirahat sepanjang hari.
Tapi dari semua ketidaknyamanan tersebut, hanya satu hal yang paling ampuh menyulut semangat saya untuk mulai berolah raga: kesadaran bahwa bentuk tubuh saya sangat jauh dari sempurna. Apalagi, sebagai perempuan, saya sangat akrab dengan perbincangan basa-basi yang tidak jauh dari komentar akan penampilan visual.
Yang tidak saya ketahui ketika itu adalah bahwa bentuk tubuh yang saya idamkan tidak akan terwujud secara instan. Melihat ukuran tubuh saya yang tidak kunjung membaik setelah beberapa saat rutin berolah raga, saya langsung meningkatkan intensitas olah raga saya baik dari segi durasi maupun tingkat kesulitan gerakannya. Harapan saya hanya satu, yaitu bentuk tubuh yang ideal semakin cepat terpampang ketika saya melihat ke cermin.
Ajaibnya, yang akhirnya terjadi justru sebaliknya. Bentuk tubuh saya tetap gitu-gitu aja, tapi orang-orang di sekitar saya malah memiliki komentar baru:
"Perasaan lo udah rajin olah raga macem-macem Syn, kok masih aja paha lo gede?"
Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk dapat menyesuaikan antara ego saya dalam hal penampilan dan ego saya dalam berolah raga. Terus terang, saya tidak pernah menyadari betapa banyaknya mitos seputar olah raga yang beredar sampai saya benar-benar mencobanya.
Saya sempat 'mencoret' beberapa gerakan dalam yoga dan circuit training karena saya mendengar bahwa gerakan tersebut akan membuat lengan saya makin besar atau paha saya semakin tembem. Ternyata ini tidak berhasil membuat bentuk tubuh saya membaik, malah membuat saya merasa kemampuan saya jadi ikut 'jalan di tempat'. Dan tentunya orang-orang yang saya temui pun tetap melontarkan komentar yang membuat saya sakit hati.
Tanpa saya sadari, setiap saat, saya melakukan olah raga dengan satu harapan, yaitu mendapat 'nilai' bagus dari orang-orang yang ada di sekitar saya. Saya memberi makan perasaan rendah diri, membutuhkan pengakuan, dan mengasihani diri sendiri.
Setiap kali mengikuti kelas yoga, meskipun saya bisa mengeksekusi peak pose yang diinstruksikan, saya akan pulang dengan perasaan kecewa karena perut saya tidak rata. Saya meletakkan kunci kebahagiaan saya pada orang lain, atau lebih tepatnya, pada komentar orang lain akan bentuk tubuh saya.
Satu-satunya yang saya syukuri sampai saat ini adalah bahwa kekecewaan-kekecewaan saya saat itu tidak menghentikan saya berolah raga. Saya tidak pernah mencapai angka timbangan yang saya harapkan. Saya juga tidak memiliki lingkar-lingkar tubuh yang menurut saya ideal. Performa saya dalam lari tidak membaik secara drastis, dan asana yang saya kuasai dalam yoga pun masih sangat terbatas. 'Bahan bakar' saya untuk terus berolah raga hanya karena olah raga membuat saya merasa bahagia.
Tapi memang itulah satu-satunya alasan yang saya butuhkan: bahagia. Setelah sekian lama, saya akhirnya bisa bersyukur karena saya berolah raga. Bukan karena saya sudah memperoleh pujian akan penampilan saya, tapi karena saya menemukan sumber kebahagiaan yang lebih real--yaitu olah raga itu sendiri.
Tentu--sebagaimana manusia pada umumnya--saya tetap merasa senang saat menerima pujian. Tapi, kini saya menyadari bahwa meskipun hingga tua nanti saya tidak akan menerima satupun pujian lagi dari orang lain, saya akan baik-baik saja. Dan yang terpenting, saya menyadari bahwa saya lebih bangga ketika berhasil memperoleh pencapaian dalam olah raga--meskipun sederhana--daripada ketika orang lain memuji penampilan saya.
Mungkin terdengar sedikit dangkal, tapi saya merasa saya akan tetap bahagia selama saya masih bisa berolah raga. Kunci kebahagiaan saya sekarang ada di tangan saya sendiri.
Mudah-mudahan siapapun yang membaca tulisan ini juga semakin didekatkan dengan sumber kebahagiaannya, ya.
Namasté :)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H