Konsep berpikir dan bersikap ilmiah, selalu berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai metodologi, sistematika, analitika, dan objektivitas.
Metodologi (method, thariqat) merupakan ilmu-ilmu atau cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, bergantung dari realitas yang sedang dikaji. Dengan kata lain, metodologi adalah berbicara tentang "dari mana-mau kemana, latar belakang beserta tujuan". Sedangkan fungsi metodologi adalah memberikan arah tujuan yang jelas, sehingga menjadi fokus kerja atau berkegiatan untuk pencapaian tujuan agar tidak melebar kemana-mana.
Sistematika (systematica), adalah ilmu yang mempelajari keanekaragaman kehidupan di bumi, baik pada masa lalu maupun sekarang, serta hubungan antara mahluk hidup sepanjang sejarah. Selanjutnya, disebut sebagai kerja sistematis, pada prinsipnya adalah melengkapi kerja metodologi sehingga akan diperoleh sebuah garis maupun road map beserta gambaran konsep yang lebih gamblang dan lengkap.
Analitika (analytics), adalah ilmu untuk melakukan analisis logis sebagai penjajakan antara gagasan terhadap kenyataan serta sebagai pembuktian guna memperoleh suatu objektivitas dari suatu kajian (study). Sehingga, beranalitika pada prinsipnya adalah bukan sekedar pada batas berdiskusi, namun harus ada implementasi atau pembuktian dalam kenyataan. Muaranya adalah objektif yang layak dan pantas berkaidah ilmiah. Dan, itulah yang disebut sebagai objektivitas yang beriringan dan berhimpitan dengan analitika.
Dengan demikian, objektivitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat-sifat alamiah (empiris) sebuah objek yang diteliti atau dipelajari dengan suatu cara dimana tidak bergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.
Keobjektifan pada dasarnya tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsi (kira-kira), prasangka ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu. Â Â
Bila Al-Qur'an dinyatakan sebagai ilmu sebagaimana dalam QS Ar-Rahman (55):2, maka sudah seharusnya isi Al-Qur'an mengandung hal-hal yang ilmiah. Sebagaimana pengertian "ilmiah" adalah sifat dari suatu ilmu yang logis-rasional. Bukan dongeng ataupun mitos.
Di artikel ini, saya mencoba menafsirkan salah satu dari sekian Surat (114 Surat) Â yang terdapat di dalam Al-Qur'an, yakni QS Ad-Duha (93). Yakni, dalam rangka dan upaya menjawab pertanyaan: "Mengapa harus Dhuha? Ada apa dengan waktu Dhuha? Apa kaitannya dengan shalat Dhuha? Apa Fungsi shalat Dhuha?"
Tentunya, tanpa meninggalkan ataupun lepas dari koridor berkaidah ilmiah dengan variabel penopangnya, yakni metodologi, sistematika, analitika dan objektivitas. Juga dalam frame reference: "Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang bicara", bila tak ingin terjerembab di ranah mitologi yang serba dongeng belaka.
 Al-Qur'an dan Kaidah Ilmiah
Kaidah penafsiran Al-Qur'an secara ilmiah adalah bagian yang terlingkup di dalam teori ilmu. Dimana, metodologi merupakan dasar penafsiran yang memberikan arah dan kerangka berpikir. Sedangkan sistematika merupakan yang melengkapi kerangka berpikir sehingga menjadi gambaran yang lebih jelas. Dan, analitika yang berlanjut pada objektivitas adalah suatu kesimpulan sebagai pembuktian terhadap benar tidaknya suatu penafsiran.
Metodologi Al-Qur'an dapatlah digambarkan dalam gambar skema berikut di bawah ini:
A. Metodologi
- QS Ar-Rahman (55):1-3; QS Ar-Rum (30):30
- Sisi A = Sisi B = Sisi C
- Proses Pembangunan Iman = Penciptaan Manusia/Penciptaan Alam = Pembangunan Madinah.
Di ranah ilmu naturalis, metodologi dimaknai sebagai latar belakang yang mengarah pada tujuan sebuah karya ilmiah. Dan yang menjadi pembeda adalah bahwa ilmu naturalis tidak mengenal peran Allah (Tuhan), dimana ilmu adalah reflek dari objek penelitian. Sehingga tidak ada peran Tuhan, ilmuwan naturalis bebas menentukan tujuan, menjual dan menggunakan ilmu untuk kepentingan pribadinya.
Lihat, QS Al-Maidah (5):31, yang esensinya adalah bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan menciptakan ilmu. Semua ilmu adalah dari Tuhan semata.
Jikalau Al-Qur'an adalah pedoman untuk menuju dan mewujudkan kehidupan Jannah, maka dapatlah digambarkan sebagaimana berikut ini:
- Al-Qur'an adalah pedoman untuk menghantarkan mukmin dari kondisi Dzulumat menuju Nur/Jannah.
- Metode Al-Qur'an: kerangka berpikir bahwa ayat-ayat Al-Qur'an merupakan pedoman dari Allah untuk manusia, yakni garis strategi-taktik serta tatanan Jannah.
- Pedoman mewujudkan Jannah meliputi:
1. Garis Iman/strategi-taktik perwujudan Nur = proses penciptaan tubuh manusia.
2. Konsep Madinah/Jannah = Kaljasadi (sistem anatomi dan fisiologi tubuh manusia).
1. Garis Iman (Shirathal Mustaqim)
Rancangan Allah/Makarullah
Garis Iman/Ja'al Haq ==> Garis Pembinaan Islam (Pembangunan Perilaku) = Garis Pembangunan Tatanan (Dinullah) = Proses Penciptaan Manusia ==> Pararel dengan Garis Zahaqal Bathil.
B. Sistematika
Kerja sistematika melengkapi kerja metodologi sehingga akan diperoleh sebuah Garis Iman (road map) Jannah dan gambaran konsep Jannah yang lebih gamblang dan lengkap.Â
Semua sistematika Al-Qur'an (sistematika surat, ayat, umum, dan lain-lain) harus mengarah (menguatkan) pemahaman Garis Iman dan konsep Madinah, termasuk gambaran tentang bencana besar(kehancuran) sistem Dzulumat (Zahaqal Bathil).Â
1. Sistematika Garis Iman
Adalah klasifikasi ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambarkan garis (strategi) perwujudan Dinullah.
2. Sistematika Konsep Penataan Madinah/Dinnul Islam
a. Klasifikasi ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambarkan struktur organisasi Madinah/Dinul Islam.
b. Klasifikasi ayat-ayat Al-Qur'an tentang sistem/berbagai aturan dalam Madinah/Dinul Islam.
3. Sistematika Tentang Terjadinya Bencana Besar (Hancurnya Sistem Dzulumat)
Adalah klasifikasi ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambarkan terjadinya bencana besar dan hancurnya sistem Dzulumat.
C. Analitika -- Objektivitas
Al-Qur'an bukan sekedar untuk didiskusikan, namun harus diimplementasikan (dibuktikan) ke dalam kenyataan.
Konsep Madinah dan garis strategi perwujudannya ibarat gambar peta di atas kertas. Tidak nampak jalan menanjak (QS Al-Balad (90):11), berkelok-kelok, berlobang, dan lain-lain. Kondisi objektif Al-Qur'an hanya diperoleh dengan implementasi (pembuktian).Â
Metodologi Surat Ad-Dhuha
Gambaran proses perjuangan Rasulullah dari awal (Dhuha = awal siang hari) hingga akhir (malam hari).
Sistematika Ad-Dhuha
Mengapa harus Dhuha? Ada apa dengan waktu Dhuha? Apa kaitannya dengan shalat Dhuha? Apa fungsi shalat Dhuha?
Ayat-ayat Penjelasan
Perjuangan dihadapakan pada tantangan yang cukup berat, hampir putus asa (terutama di awal pergerakan), terkesan seolah-olah Tuhan meninggalkan dan membenci kita (padahal Allah selalu menyertai perjuangan para Rasul-Nya).
Hasil akhir perjuangan di jalan Allah itu lebih indah dari permulaan.
Allah akan memberikan karunia-Nya hingga sesuai dengan harapan para Rasul.
Dari kondisi yatim (berjuang sendiri) hingga Allah memberikan perlindungan dalam bentuk kelompok (jamaah) pendukung. Semakin mendekati tujuan akhir perjuangan, semakin banyak dan luas jamaah pendukungnya.
Dari proses awal tidak tahu apa yang harus dilakukan (tersesat) hingga Allah memberikan petunjuk yang jelas.
Dari yang penuh keterbatasan, hingga Allah memberikan kecukupan (materi, ilmu (skill), pengalaman, dan lain-lain).
Analitika-Objektivitas  dan Ayat-ayat Kesimpulan
Maka terhadap sosok yatim, janganlah dipaksakan sesuatu yang tidak sesuai kemampuannya (qahar ==>> pemaksaan).
Terhadap yang kekurangan (masih lemah), jangan dipatahkan (nahar ==>> hardik, tumbang, hancur).
Dan, terhadap karunia Allah harus disyiarkan.
Pelajaran Surat Ad-Dhuha
Semua Rasul melakukan proses perjuangan mewujudkan tatanan Allah, perjuangan dengan tantangan yang sangat berat, penuh liku-liku, dan dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi.
Sebagai manusia, Rasul juga dihadapkan pada kerisauan, keputusasaan karena beratnya masalah yang dihadapi terutama pada awal-awal pergerakan (Dhuha) sebagai titik yang paling rawan, ketika kondisi para Rasul masih lemah. Sehingga Rasulullah sempat berprasangka seolah-olah Allah telah meninggalkannya. Padahal, bimbingan (karunia) Allah selalu menyertai perjuangan para Rasul-Nya.
Sehingga kita juga harus memperlakukan para mukmin baru yang masih lemah. Bukan malah dengan merendahkannya, dengan cara-cara yang keras dan tidak mendidik. Sebaliknya, harus dibimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran sebagaimana Allah membimbing para Rasul dengan karunia-Nya.
Selanjutnya, karunia (bimbingan) Allah dari awal proses  hingga mewujud tatanan yang ideal harus dijadikan acuan pola bimbingan (pendidikan) terhadap masyarakat. Oleh karena itu karunia (bimbingan) Allah dari awal proses hingga lahir karya yang ideal, harus disyiarkan ...
Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....
 *****
Kota Malang, Januari di hari kedelapan, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H