Meski gempita menyeruak kian marak
Membludak bagai cendawan di musim kering tanpa tetesan hujan
Merindulah bara api melelehkan kebuntuan kalbu pada keinginan
Menyibak kelambu gelap meningkahi terang padang gersangÂ
Membingkai sepinya cita harap pada keluhungan wujud langgam agung
Rundung gelisah yang membongkah menukik jiwa di belantara angkara durjana
Karena sang sujana tengah mengasah, bergulat dengan waktu yang melaju
Menjemput saat yang tepat bilamana diejawantahkan
Di keriuhan para perompak berjubah bermahkota intan permata bagai sang aulia
Membungkam para kebanyakan dengan janji mimpi yang tak mungkin kuasa dibeli
Dengan kucuran darah dan kurasan air mata
Di kesunyian kidung rindu yang mendendam, meraung menggaung
Memecah langit merobek-robek dirgantara
Dalam senandung doa menapak juang tiada henti
Walau terkadang terhalang segerombol binatang jalang
Liar membuang nalar ...
*****
Kota Malang, Agustus di hari ketujuh belas, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H