Anggap tidak sah, batal!
Oh, ya?
Kenapa tidak?
Kamilah yang berwenang, kamilah yang berkepentingan dan berkuasa
Tak mengesahkannya, membatalkannya ...
Lalu, putusan itu bukankah 'tlah berdaya hukum permanen?
Bukan buat sementara waktu?
Apa bukan begitu pemaknaan yang patut disepahamkan
Bagi semua tak terkecuali?
Oh, ya?
Ya!
Namun, ini soal hak hidup, saudara
Yang bernaung di bawah payung hak asasi manusia
Tak manusiawi bila harus diputus mati
Karena, sekali lagi, dia punya hak berkesempatan hidup
Lagian, antara mati dan seumur hidup adalah setara
Begitulah narasi retorisnya ...
Keadilan itu keseimbangan, kawan
Mata dibalas dengan mata
Luka dengan luka
Sakit hati dengan sakit hati
Derita dengan derita
Dan, mati ... ya, dengan mati!
Tentang akibat pidana yang tak bisa ditolelir lagi
Itulah prisip esensi substansinya
Agar tak terjadi penuh dengan keabu-abuan selamanya
Itu tidaklah mungkin mewujud di sini, kawan
Kenapa?
Sebab, kita selalu dan selalu dalam serba berpura-pura
Di setiap sendi hidup dalam kehidupan apapun
Sejak dulu hingga kini di sini ini
Di tanah bumi merdeka, katanya ...