Jikalau filsafat adalah model dan gaya berpikir yang dipopulerkan sejak zaman paling klasik (abad sebelum masehi-SM) sebagai cara menghadapi problematika kehidupan yang harus bermula dari hal yang radiks, Â dari akar yang paling mendasar agar hasil yang diharapkan mewujud sebagai bangunan berpikir kritis, logis dan atas dasar akal sehat, sehingga bermuaralah pada cinta akan kearifan, kebijaksanaan (wisdom). Maka jawaban filsafat seharusnya menunjukkan sesuatu yang solutif terhadap pemecahan masalah (problem solving) di segala aspek realitas kehidupan manusia secara universal.
Apalagi, indoktrinasi filsafat yang dijejalkan terhadap mereka penghuni komunitas cerdik-pandai, yakni para cantrik kandidat intelektual maupun para ilmuwan akademisi penyandang tajuk tampuk suhu yang sudah merasa aman dan nyaman hidup bertengger di zona puncak menara gading sebagai pakar wacana yang jarang berselam ke dalam fakta realita kehidupan dalam konteks adab budaya dan peradaban, kadung pasrah bertabik dan kontan mengamini, bahwa:Â
- Filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan
- Filsafat adalah pengagung rasionalitas tertinggi dalam jargon akal sehat.
Sehingga menghadapi sosok substansial filsafat bagi yang tak pernah terlibat bermain-main di kedalamannya, laksana menghadapi hantu momok yang menyeramkan, dan dibayangi pikiran tercekam yang bisa-bisa berujung pada pecahnya kepala (wadah central processing unit), korsleting, kengerian tiada tara, dan lain-lain yang setara dengannya. Bayang-bayang yang menghantui itulah akan menghalusinasi mereka yang boleh dibilang masih awam atau yang hanya berselayang pandang terhadap kulit raut muka belaka dari yang bernama filsafat. Benarkah?
Ah, filsafat ...
Tanpa mengkerdilkannya, dan memang sudah seharusnya dikerdilkan pada titik ternadir bila dibandingkan dengan samudra ilmu yang diajarkan Tuhan kepada manusia universal yang diciptakan-Nya, yang dapat dibaca (ditelaah) dari isyarat faktual fenomena alam semesta yang masih eksis dengan segala ragam gejala peristiwa alam semesta beserta segala isi di dalamnya, makrokosmos dan mikrokosmos. Atau bisa ditelaah guna mendapatkan esensi-substansi sari pati ajaran-Nya dari dokumen suci (sempat dikonotasikan demikian: "kitab suci itu fiksi" oleh filsuf terkini kita ) yang merupakan kodifikasi ajaran-Nya, ilmu-Nya bagi manusia universal secara cermat dan seksama.
Studi filsafat yang berujung pada cinta akan hikmat, kearifan dan kebijaksanaan maka akan berkonsekuensi logis bagi penggelut dan peminatnya untuk mengimplementasikan dalam tataran kenyataan hidup di segala aspek kehidupan manusia. Namun fakta realitanya sebagaimana dalam sejarah perjalanan filsafat di eranya masing-masing yang melahirkan sederetan tokoh-tokoh (filsuf) dengan pelbagai aliran dan cabang aliran, mulai dari Thales, Phytagoras, Plato, Aristoteles, St. Agustinus, Thomas Aquinas, Boethius, Anselm, Roger Bacon, Thomas Hobbes, Rene Descartes, Baruch Spinoza, Gottfried Leibniz, John Locke, George Berkeley, David Hume, Immanuel Kant, dan lain-lainnya. Dimana secara periodesasi terbagi menjadi Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Abad Modern, kesemuanya justru berujung pada polemik atau perdebatan yang tak berkesudahan.
Dengan kata lain, berfilsafat yang konon adalah menjurus pada "cinta akan hikmat", "cinta akan kearifan", "cinta akan kebijaksanaan" yang dilahirkan dari pemikiran-pemikiran filsafati sang filsuf, dan pada akhirnya hanya memunculkan perdebatan belaka, maka yang patut dipertanyakan adalah:
- Manakah hikmat kebijaksanaan dan kearifan yang bisa ditampilkan?
- Manakah yang disebut problem solving atas permasalahan kehidupan?
Bila hanya berkutat dari polemik satu ke polemik lainnya, atau berpolemik dari yang sebelumnya guna menghasilkan polemik berikutnya sebagai polemik baru, sebagai perdebatan baru, maka:
- Apalah guna berfilsafat?
- Begitukah yang dinamakan Cinta akan Hikmat Kebijaksanaan dan Kearifan?
- Begitukah cara penyelesaian permasalahan dalam kehidupan manusia?
- Begitukah yang disebut-sebut sebagai pengagungan rasionalitas tertinggi bernama Akal Sehat?
Pun demikian halnya mencuatnya terminologi "Bajingan Tolol", lalu berbelok arah menjadi "Orang yang disayang Tuhan", maka itulah kepiawaian peminat filsafat ataupun guru besarnya filsafat (filsuf) dalam berpolemik, berdebat, dan beretorika di tataran konsepsi teori mengambang sawang yang tak pernah membumi. Unjuk kepiawaian dalam bersilat lidah, memainkan rangkaian kata-kata dan istilah dalam bahasa yang diklaim sebagai bahasa filsafat dalam membingungkan lawan berdebat atau "menyerang" seseorang yang tidak sepandangan dan sepemikiran agar diakui sebagai pemikir kritis, tajam  dan beda dengan lainnya.
Dalam hal berpolemik terhadap "Bajingan Tolol", maka makna kamus sebagaimana bahasa ibu kita adalah bahasa Indonesia, tanpa harus berputar-putar dan berkelit, maka marilah dikupas berdasarkan KBBI, yakni sebagai berikut:Â
- Bajingan : 1. penjahat; pencopet 2. kurang ajar (kata makian)
- Tolol     : sangat bodoh; bebal
Dengan demkian, maka makna "Bajingan Tolol" adalah:
- Penjahat atau pencopet yang sangat bodoh atau bebal
- Kurang ajar yang sangat bodoh dan bebal
Nah, pertanyaannya, mengapa manakala dipolemikkan atau diperdebatkan dan dipersoalkan, koq jadi berbelok arah, khususnya terhadap kata "Bajingan", sebelum digabung dengan kata "Tolol"? Yakni publik diarahkan memaknai kata bajingan sebagai "Orang yang disayang Tuhan"?
Lantas, publik pun digiring dalam memaknai kata "bajingan" dari sisi yang lain, yakni bahwa "bajingan" adalah pengendali gerobak sapi (cikar), dan gerobak sapi atau cikar adalah jenis kendaraan rakyat pada zaman dahulu, khususnya di pulau Jawa,  yang dipergunakan untuk mengangkut hasil bumi. Dan, "sopir" nya disebut Bajingan. Lantaran Bajingan adalah profesi sebagai pengangkut hasil bumi, maka Bajingan adalah "orang yang disayang Tuhan" ..? Â
 Lho, koq jadi begitu dan kesana kemari ceritanya, Bro? Lha, waktu itu, ketika melontarkan kata istilah dimaksud dalam rangka apa dan terangkai oleh narasi bahasan apa yang melatarbelakangi, sehingga terlontarlah kata "Bajingan Tolol"?
Apakah mau beretorika, berputar-putar dan berkelit dengan mengumbar soal Logika dalam Filsafat, cabang-cabang Filsafat yang terdiri dari Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi seperti sang begawan sedang menguliahi para cantriknya?
"Di kala pikiran kita berkata 'iya', mengapa mulut berucap 'tidak'?"
Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ... Merdeka!
*****
Kota Malang, Agustus di hari ketujuh, Dua Ribu Dua Puluh Tiga. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI