Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkritisi ataukah Mencaci?

4 Agustus 2023   03:00 Diperbarui: 4 Agustus 2023   05:03 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: kompas.com

Pada suatu ketika di ruang "Fiksiana-Filsafatiana" kisah ini dimulai ...

Sah-sah saja kiranya, saya yang memang bukanlah siapa-siapa, juga apalah artinya seorang dari saya, apabila mencoba berterminologi sendiri dalam tajuk "fiksiana-filsafatiana". Dua kata yang sengaja saya gabungkan menjadi gabungan kata sebagai upaya menetralisir fenomena yang menarik perhatian publik dalam pusaran polemik, perdebatan, perselisihan yang berkecenderungan menuai kegaduhan, chaos, konflik vertikal maupun horizontal di negeri ini.

Bersikap kritis sebagai warga negara memang diperlukan. Namun jangan lupa, bahwa sikap ktitis yang dimaksud harus berifat konstruktif-positif, manakala nyata  mendapati celah kelemahan atau kekurangan untuk dijawab sebagai solusi demi sempurnanya wujud bangunan dan tatanan kehidupan masyarakat bangsa negeri ini. Begitulah pada prinsipnya, dan jangan sampai justru sebaliknya yang terjadi. Yakni, destruktif-negatif yang berujung pada kerugian lantaran mengarah pada suatu pertikaian atau konflik.

Apa sih yang disebut "bersikap kritis" itu? Adalah berperilaku yang menunjukkan ketajaman dalam penganalisisan terhadap segala sesuatu yang tengah berlangsung dan dihadapi oleh seseorang. Dan, segala sesuatu yang dimaksudkan adalah fakta kehidupan dengan segala aspek yang tercakup di dalamnya. 

Dalam hal ini, adalah kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi, utamanya menyangkut wujud bangunan bangsa dalam tatanan negara. Dimana akan selalu bersinggungan dengan soal ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan sebuah negara-bangsa, yakni Indonesia_Nusantara yang wajib dicintai, dijaga dan dipelihara ke-bhinneka-annya.

Kemudian, samakah antara sikap kritis itu dengan sikap yang berkesan mencaci? Apakah keduanya adalah ibarat "kakak beradik"? Entah, mana yang kakak dan mana yang adik? Ataukah keduanya bagai saudara kembar?

Dalam konteks filsafat bahasa, baik dari mazab Gottlob Frege, maupun Betrand Russell yang pada gilirannya mengendap di KBBI berupa kosa kata, maka "mencaci" sudah seharusnya dimaknai sebagai mencacat keras dan kasar; memaki; mencela; menistakan; mengeluarkan perkataan yang tidak sopan; memaki-maki.

Contoh dalam kalimat, seperti berikut ini, "Seorang bernama RG telah mencaci JW habis-habisan untuk mematik ketersinggungan dan kemarahan. Namun sayangnya, JW tidak menanggapi sama sekali cacian itu, bahkan tak mengadu sama sekali atas cacian itu."

Terlepas dari soal penerima cacian itu tidak menggrubis, bahkan tak menanggapi, apalagi luapkan emosi, maka dalam konteks tersebut marilah kita dudukkan pada porsi persoalan dimaksud secara proporsional dalam perspektif keilmuan yang objektif ilmiah. Ada apakah di balik yang tersirat dan yang tersurat terhadap fakta fenomena yang lagi viral di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara ini?

Sumber gambar: detik.com
Sumber gambar: detik.com

Sang akademisi yang konon adalah Guru Besar berbasis ilmu filsafat itu, terlalu piawai bila tidak pas disebut: "keterlaluan piawai"-nya dalam memainkan lakon di panggung politik negeri ini. 

Di panggung politik yang berdikotomi antara rezim dan oposisi yang diperlunak dalam terminologi "penyeimbang", sosok pemeran yang dijalankan lebih menonjolkan sebagai sang antagonis daripada sebagai sang protagonis. 

Sebagai akademisi-pengamat politik yang lagi naik daun lantaran kemampuannya merebut sebuah momen pada situasi dan kondisi yang tepat, yakni sejak kali pertama muncul di acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) awal 2017, pemikiran sang akademisi-pengamat politik berbasis filsafat ini mulai diperhatikan publik secara luas. 

Pemikirannya yang dianggap sangat kritis yang tampak di setiap lontaran pernyataannya sebagai pembicara ataupun sebagai nara sumber, tak jarang bersifat kontroversial, mengundang heboh dan mencengangkan.

Berhadapan dengan sang akedemisi-pengamat politik berbasis filsafat ini saat bertimbal cakap, berdiskusi, sharing maupun berdebat, sepertinya ada semacam kesulitan bagi lawan bicaranya, apalagi apabila ada upaya untuk mematahkan pemikiran filsafati yang dilontarkannya. 

Sang akademisi-pengamat politik ini pernah berujar sebagai bentuk kritik pada acara diskusi atau debat, bahwa "Hanya pemerintah yang berkuasalah sebagai pembuat hoaks terbaik karena memiliki banyak perangkat untuk berbohong." 

Selain itu, pernyataan kontroversialnya yang sempat memicu kegaduhan dan berbuntut dilaporkannya dia ke kepolisian, adalah penyebutan bahwa "kitab suci itu fiksi". Dan, masih banyak yang lain pernyataan dari pemikiran dia yang selalu kontroversial, namun lagi-lagi, dia pun selalu lolos dari sangkaan sebagai penebar ujaran kebencian, pencemaran, maupun penodaan (agama) dalam jerat hukum positif di negeri ini. 

Viralnya pernyataan pemikiran sang akademisi-pengamat politik yang juga seorang filsuf itu, kali ini dan yang terkini adalah tentang lontaran kata "bajingan tolol" tertuju kepada sang RI-1 menuai reaksi keras dari para simpatisan atau pendukung fanatik sang presiden RI, namun tak begitu halnya bagi sang presiden RI yang tidak menanggapi serius dugaan penghinaan terhadap dirinya, dan juga karena memang tak ada delik di ranah hukum positif di negeri ini, adalah fakta fenomena yang sangat menarik bagi yang sama-sama berfrekuensi dan bervisi pada kearifan-kebijaksanaan. Apalagi real dipraktikkan dalam tindak nyata, jauh dari "omdo"-omong doang, layak dan patut diapresiasi dengan setinggi-tingginya.

Reaksi sang presiden RI sebagaimana yang dilansir dari laman kompas.com, 2 Agustus 2023, bahwa sang presiden RI enggan menanggapi serius penghinaan yang disampaikan oleh RG, sang akademisi-pengamat politik dan seorang filsuf itu. Presiden lebih memilih  untuk fokus bekerja daripada menanggapi hinaan itu.

"Itu hal-hal kecillah. Saya kerja saja," ujar presiden saat memberikan keterangan pers di Senayan Park, Jakarta, Rabu ini.

Nah, tinggal bagaimana reaksi dan sikap selanjutnya bagi "sang kotroversial", akademisi-pengamat politik dan seorang filsuf itu manakala yang ditohok dengan pernyataan yang kontroversial dengan kata-kata bernuansa sarkasme tersebut, tidak menanggapi sama sekali? Masihkah sang akademisi-pengamat politik dan seorang filsuf itu konsisten dengan sikap dan pernyataan yang selalu kontroversial dan acapkali menuai kegaduhan sesudah peristiwa ini? Mari kita serahkan saja kepada sejarah untuk menjawabnya ...

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ...

*****

Kota Malang, Agustus di hari keempat, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun