Sang akademisi yang konon adalah Guru Besar berbasis ilmu filsafat itu, terlalu piawai bila tidak pas disebut: "keterlaluan piawai"-nya dalam memainkan lakon di panggung politik negeri ini.Â
Di panggung politik yang berdikotomi antara rezim dan oposisi yang diperlunak dalam terminologi "penyeimbang", sosok pemeran yang dijalankan lebih menonjolkan sebagai sang antagonis daripada sebagai sang protagonis.Â
Sebagai akademisi-pengamat politik yang lagi naik daun lantaran kemampuannya merebut sebuah momen pada situasi dan kondisi yang tepat, yakni sejak kali pertama muncul di acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) awal 2017, pemikiran sang akademisi-pengamat politik berbasis filsafat ini mulai diperhatikan publik secara luas.Â
Pemikirannya yang dianggap sangat kritis yang tampak di setiap lontaran pernyataannya sebagai pembicara ataupun sebagai nara sumber, tak jarang bersifat kontroversial, mengundang heboh dan mencengangkan.
Berhadapan dengan sang akedemisi-pengamat politik berbasis filsafat ini saat bertimbal cakap, berdiskusi, sharing maupun berdebat, sepertinya ada semacam kesulitan bagi lawan bicaranya, apalagi apabila ada upaya untuk mematahkan pemikiran filsafati yang dilontarkannya.Â
Sang akademisi-pengamat politik ini pernah berujar sebagai bentuk kritik pada acara diskusi atau debat, bahwa "Hanya pemerintah yang berkuasalah sebagai pembuat hoaks terbaik karena memiliki banyak perangkat untuk berbohong."Â
Selain itu, pernyataan kontroversialnya yang sempat memicu kegaduhan dan berbuntut dilaporkannya dia ke kepolisian, adalah penyebutan bahwa "kitab suci itu fiksi". Dan, masih banyak yang lain pernyataan dari pemikiran dia yang selalu kontroversial, namun lagi-lagi, dia pun selalu lolos dari sangkaan sebagai penebar ujaran kebencian, pencemaran, maupun penodaan (agama) dalam jerat hukum positif di negeri ini.Â
Viralnya pernyataan pemikiran sang akademisi-pengamat politik yang juga seorang filsuf itu, kali ini dan yang terkini adalah tentang lontaran kata "bajingan tolol" tertuju kepada sang RI-1 menuai reaksi keras dari para simpatisan atau pendukung fanatik sang presiden RI, namun tak begitu halnya bagi sang presiden RI yang tidak menanggapi serius dugaan penghinaan terhadap dirinya, dan juga karena memang tak ada delik di ranah hukum positif di negeri ini, adalah fakta fenomena yang sangat menarik bagi yang sama-sama berfrekuensi dan bervisi pada kearifan-kebijaksanaan. Apalagi real dipraktikkan dalam tindak nyata, jauh dari "omdo"-omong doang, layak dan patut diapresiasi dengan setinggi-tingginya.
Reaksi sang presiden RI sebagaimana yang dilansir dari laman kompas.com, 2 Agustus 2023, bahwa sang presiden RI enggan menanggapi serius penghinaan yang disampaikan oleh RG, sang akademisi-pengamat politik dan seorang filsuf itu. Presiden lebih memilih  untuk fokus bekerja daripada menanggapi hinaan itu.
"Itu hal-hal kecillah. Saya kerja saja," ujar presiden saat memberikan keterangan pers di Senayan Park, Jakarta, Rabu ini.
Nah, tinggal bagaimana reaksi dan sikap selanjutnya bagi "sang kotroversial", akademisi-pengamat politik dan seorang filsuf itu manakala yang ditohok dengan pernyataan yang kontroversial dengan kata-kata bernuansa sarkasme tersebut, tidak menanggapi sama sekali? Masihkah sang akademisi-pengamat politik dan seorang filsuf itu konsisten dengan sikap dan pernyataan yang selalu kontroversial dan acapkali menuai kegaduhan sesudah peristiwa ini? Mari kita serahkan saja kepada sejarah untuk menjawabnya ...