Pada suatu ketika di ruang "Fiksiana-Filsafatiana" kisah ini dimulai ...
Sah-sah saja kiranya, saya yang memang bukanlah siapa-siapa, juga apalah artinya seorang dari saya, apabila mencoba berterminologi sendiri dalam tajuk "fiksiana-filsafatiana". Dua kata yang sengaja saya gabungkan menjadi gabungan kata sebagai upaya menetralisir fenomena yang menarik perhatian publik dalam pusaran polemik, perdebatan, perselisihan yang berkecenderungan menuai kegaduhan, chaos, konflik vertikal maupun horizontal di negeri ini.
Bersikap kritis sebagai warga negara memang diperlukan. Namun jangan lupa, bahwa sikap ktitis yang dimaksud harus berifat konstruktif-positif, manakala nyata  mendapati celah kelemahan atau kekurangan untuk dijawab sebagai solusi demi sempurnanya wujud bangunan dan tatanan kehidupan masyarakat bangsa negeri ini. Begitulah pada prinsipnya, dan jangan sampai justru sebaliknya yang terjadi. Yakni, destruktif-negatif yang berujung pada kerugian lantaran mengarah pada suatu pertikaian atau konflik.
Apa sih yang disebut "bersikap kritis" itu? Adalah berperilaku yang menunjukkan ketajaman dalam penganalisisan terhadap segala sesuatu yang tengah berlangsung dan dihadapi oleh seseorang. Dan, segala sesuatu yang dimaksudkan adalah fakta kehidupan dengan segala aspek yang tercakup di dalamnya.Â
Dalam hal ini, adalah kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi, utamanya menyangkut wujud bangunan bangsa dalam tatanan negara. Dimana akan selalu bersinggungan dengan soal ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan sebuah negara-bangsa, yakni Indonesia_Nusantara yang wajib dicintai, dijaga dan dipelihara ke-bhinneka-annya.
Kemudian, samakah antara sikap kritis itu dengan sikap yang berkesan mencaci? Apakah keduanya adalah ibarat "kakak beradik"? Entah, mana yang kakak dan mana yang adik? Ataukah keduanya bagai saudara kembar?
Dalam konteks filsafat bahasa, baik dari mazab Gottlob Frege, maupun Betrand Russell yang pada gilirannya mengendap di KBBI berupa kosa kata, maka "mencaci" sudah seharusnya dimaknai sebagai mencacat keras dan kasar; memaki; mencela; menistakan; mengeluarkan perkataan yang tidak sopan; memaki-maki.
Contoh dalam kalimat, seperti berikut ini, "Seorang bernama RG telah mencaci JW habis-habisan untuk mematik ketersinggungan dan kemarahan. Namun sayangnya, JW tidak menanggapi sama sekali cacian itu, bahkan tak mengadu sama sekali atas cacian itu."
Terlepas dari soal penerima cacian itu tidak menggrubis, bahkan tak menanggapi, apalagi luapkan emosi, maka dalam konteks tersebut marilah kita dudukkan pada porsi persoalan dimaksud secara proporsional dalam perspektif keilmuan yang objektif ilmiah. Ada apakah di balik yang tersirat dan yang tersurat terhadap fakta fenomena yang lagi viral di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara ini?