Kearifan, kebijakan, turun datang dari Sang Pencipta itulah yang semustinya terserap. Lalu, diejawantahkan di segenap aspek hidup tanpa secuilpun yang terabaikan. Bila memang keindahan dan kedamaian hidup adalah harapan bagi siapapun jua.
Sebab, keindahan dan kedamaian hidup, sudah seharusnya bersih dari persaingan, pertikaian, baku hantam, peperangan di antara sesama manusia dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan, itulah fitrah asasi yang tak mau tahu pada basa-basi. Apa adanya, tak perlu sembulkan tabir tanya. Terang benderanglah semuanya ...
Bukankah kita bermula dari satu membiak menjadi beribu-ribu? Mengapa harus saling beradu jalu hanya karena luapan nafsu keakuan yang mengharu biru? Mengapa? Kemanakah ucap ikrar janji untuk selalu dan selalu bersatu di hadapan Sang Pencipta? Kemanakah arah senandung harap dalam lantunan doa-doa kita? Haruskah jadi sia-sia?
Alam pikiran kalbu 'tlah menyatakan dalam keyakinan bahwa Sang Maha Tunggal adalah tumpuan hulu berpendulum sama. Mengapa gerak arus hilir dan muara jadi keruh serba gaduh tiada tara pada akhirnya?
Keadilan dalam keseimbangan bagi keseluruhan tanpa celah kesenjangan di segenap aspek hidup berkehidupan harmoni, jikalau memang adalah arah cita bersama, disadarikah bagaimana cara menggapainya? Apalagi, 'tlah terpatri sebagai komitmen sejarah sejak dimulainya kita sebagai bangsa merdeka, lepas dari belenggu penindasan dan penghisapan antar sesama manusia.
Mungkin kita 'tlah lalai dan lupa, atau sengaja melupa. Tentang prinsip kerakyatan, kepemimpinan dalam hikmat kebijaksanaan, bermusyawarah mufakat berperwakilan yang seharusnya ditempuh, ditegakkan! Tak lagi hanya sebatas di awang-awang langit berupa narasi-narasi yang selalu menjemukan  saban hari. Lalu, terperosok ke dalam gaya dan cara yang jauh dari apa yang telah dikomitmenkan, yang dipetik dari ranah adab budaya adiluhung kita sendiri.
Sekali lagi, disadarikah? Lalai dan lupa, atau sengaja melupa?
Menggapai keadilan bagi keseluruhan hidup bangsa tanpa kecuali, haruskah dengan cara mementaskan pesta persaingan antar kubu dan golongan, berujarkan ragam ideologi yang justru sebagai serpihan-serpihan dari sari pati ideologi kita sendiri yang mandiri? Dan, mengudarlah simpul ikatan ideologi yang 'tlah disepakati sebagai perjanjian luhur menyejarah, tergurat di bumi pertiwi ...
Mari mencoba menapak tilas! Dari hulu melangkah ke hilir, lalu bermuara kemanakah pada akhirnya arah cita dan harapan anak negeri kita ini. Keadilan bagi keseluruhan hidup bangsa negeri ini, bukan? Lantas, bagaimana cara menggapainya?
Sudahkah prinsip musyawarah mufakat berperwakilan, berhikmat kebijaksanaan, berkerakyataan kepemimpinan, benar-benar dijalankan? Bukankah itu yang dipetik dari ranah adab budaya adiluhung kita sendiri? Masih patut dan layakkah dengan cara pentas pesta persaingan antar kubu dan golongan yang menghingar-bingar, menguras energi, pikiran, dan ongkos yang amat, teramat mahal?
Mulailah dari saat ini, tak usah menunda menunggu nanti. Bila masih enggan, mau kapan lagi?
Sekecil apapun sebuah perjuangan melawan belenggu penindasan pikiran, itu punya arti dalam sejarah. Melawan dengan keteguhan hati, itupun punya arti. Sebab, yang demikian itu adalah bagian dari sejarah perjuangan melawan penindasan pikiran jua ...
*****
Kota Malang, Juli di hari kedua puluh enam, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H