Apa sih sebenarnya arah dan tujuan pendidikan (sekolah) nasional? Sebuah tanya yang acapkali tertangkap dari lontaran para kebanyakan atau para sang awam ...
Lantas, apa yang bisa kita jawab buat mereka yang real bertanya guna memperoleh jawaban yang objektif ilmiah, apa adanya? Kesulitankah, sebab oleh situasi dan kondisi realitas bangsa_negeri ini yang sudah terjerembab ke dalam "Lingkaran setan yang tak berujung berpangkal", utamanya di ranah tata kelola dunia pendidikan, khususnya sistem pendidikan di sekolah (perguruan) negara?
Mari, sedikit saja bersikap jujur, tak usahlah banyak-banyak untuk bersikap jujur!
Tentunya, sudah kita maklumi sebagaimana dalam kerangka idealitas, bahwa "Tujuan Pendidikan Nasional, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni insan yang beriman serta bertakwa terhadap yang kuasa Yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan serta ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa." Itulah prinsip idealitas dari tujuan pendidikan nasional kita yang begitu sempurna secara konsepsi dan atau teori. Fakta realita yang kita saksikan dan kita rasakan hingga sampai saat ini, seperti apakah? Adakah klopnya antara konsepsi dengan yang dialami oleh siapapun sebagai warga negara Indonesia?
Yang jelas nan gamblang, bahwa sistem pendidikan nasional telah diamanahkan oleh UUD 1945, tersirat di dalam Mukadimahnya, yakni Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, yang berlanjut sebagai juklak dan juknisnya pada UURI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, sebagaimana dalam pasal 3, menyatakan bahwa, "Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Pun demikian dalam pasal 34 UURI Nomor 20 Tahun 2003, menetapkan bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya."
Masih belum gamblangkah secara konsepsionalnya? Dan, mengapa masih terjadi ketimpangan dan penyimpangan dalam praktik pelaksanaannya? Apakah dinas dan pelaksana sistem pendikan nasional sebagai kepanjangan tangan dari negara, terutama pada sekolah (perguruan) negeri tak memahami konsepsi idealitas dari sistem pendidikan nasional, atau acuh tak acuh dalam menerjemahkannya, sehingga ketimpangan dan penyimpangan itu selalu terjadi tiada henti?
Ketimpangan dan penyimpangan dimaksud nampak sekali di kala masyarakat berhadapan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), mulai dari jenjang sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah lanjutan pada sekolah negeri yang segala sesuatunya di-back up oleh negara. Sebut saja tentang sitem pola penerimaan peserta didik baru yang terkini adalah zonasi yang bermakna sebagai sebuah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal. Dan, sistem tersebut diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang ditujukan agar tak ada sekolah-sekolah yang dianggap sekolah favorit dan non-favorit. Dengan kata lain, semua sekolah (negeri) adalah egaliter, tak ada kasta.
Namun apa yang terjadi pada fakta realitanya? Beberapa siswa malah diterima di sekolah yang memiliki jarak yang lebih jauh daripada sekolah terdekat! Mengapa?Â
Tiga orang calon siswa di kampung saya, ditolak untuk masuk pada sekolah dasar negeri terdekat dengan tempat tinggalnya sebab alasan yang tidak jelas. Namun ketiga calon siswa dimaksud, malah diterima di sekolah dasar negeri yang jaraknya lebih jauh dari tempat tinggalnya, di wilayah kelurahan tetangga dalam satu kecamatan. Aneh bukan?
Belum lagi ketika berhadapan dengan soal registrasi, yakni syarat yang harus dipenuhi manakala sang calon siswa telah dinyatakan diterima secara formal. Mengapa sih pelaksana pendidikan itu masih sibuk ngurus pengadaan seragam sekolah kepada wali siswa yang ujung-ujungnya nominal harga seragam sekolah dimaksud faktanya lebih mahal bila dibandingkan dengan bila beli sendiri tanpa melalui sekolah? Mengapa para pelaksana itu tidak berpola pikir praktis dalam hal seragam sekolah dengan cara cukup memberikan pedoman tentang seragam sekolah yang bakal digunakan oleh siswa kepada wali siswa, dalam artian biarkanlah wali siswa mengadakan sendiri dan mengapa tak memberi kesempatan kepada para wali siswa untuk mandiri? Pelaksana pendidikan (guru) koq, tidak berorientasi sebagai agen ilmu pengetahuan, dan malah sibuk berurusan dengan seragam sekolah!
Bila sekolah negeri telah dinyatakan gratis tak berbiaya karena sudah menjadi kewajiban negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara, mengapa masih terjadi menarik biaya dengan bahasa iuran ataupun sumbangan (sukarela), namun di patok kepada wali siswa? Yang iuran paguyubanlah, Sumbangan Pengembangan Pendidikan yang dijembatani oleh komite sekolahlah. Sukanya sang pelaksana pendidikan sebagai kepanjangan tangan negara yang semestinya idealis dalam menerjemahkan kebijakan negara di lapangan, koq malah aneh-aneh dalam bersikap ...
Begitu koq, maunya disebut sebagai sambung tangan negara dalam hal upaya mencerdaskan kehidupan bangsa? Nalar logika mana yang bisa menerimanya?
Esensi sistem pendidikan nasional sebagai upaya negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsanya menjadi hilang, dan justru sengaja dihilangkan oleh para sambung tangan negara itu sendiri sebagai pelaksana sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan oleh negara. Oleh karenanya, tak perlu heran bila upaya negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa masih pada batas angan-angan belaka, sebab para pelaksana sistem pendidikan nasional kita masih tersangkut oleh vested interest subjektif.
Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ...
*****
Kota Malang, Juni di hari kesepuluh, Dua Ribu Dua Puluh Tiga. Â Â Â
 Â
 Â
Â
 Â
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H