Sudah sepatutnyalah disadari dengan sesadar-sadarnya, bila telah berkomitmen untuk menjadi abdi negara-abdi bangsa. Maka, apa yang seharusnya dijalankan dan apa yang seharusnya dihindarkan agar tak mencedarai komitmen yang telah dinyatakan dan diikrarkan, menjadi tegas dan nyata. Tidak abu-abu, tak berlindung di balik baju sebagai abdi negara-abdi bangsa, sementara perilakunya justru menggerogoti negara-bangsa.Â
Satu di antara yang ada, tersebutlah istilah "pahlawan tanpa tanda jasa" di ranah pendidikan dan pengajaran. Dan, apakah benar-benar selaras antara makna ungkapan kata dengan praktik tindak nyata sebagai teladan perbuatan, berfilosofikan "digugu lan ditiru"?
Jikalau memang, bangga dengan penahbisan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, mengapa masih saja terjebak di dalam perselingkuhan? Apakah tentang aturan, tentang anggaran, tentang kebijakan, dan tentang apa saja yang melingkup sebagai piranti abdi negara-abdi bangsa.
Ini sekolah negeri! Yang berarti penyelenggaranya adalah negara! Bukan partikelir! Mengapa harus mengada-ada yang tak tertera dalam aturan negara?
Jikalau pedidikan sekolah dasar dan menengah telah dicanangkan dan ditetapkan tanpa biaya, mengapa masih saja berkamuflase dengan istilah-istilah yang bertolak belakang dengan makna gratis tak berbiaya yang dijalankan oleh para pelaksana berlabelkan abdi negara-abdi bangsa? Ujung-ujungnya, bertemu dengan biaya yang dibebankan kepada masyarakat penyandang "pra sejahtera". Tidak salah kiranya, bila perilaku yang demikian ini disebut sebagai "raja tega" ...
Bebas SPP diganti dengan istilah "Peran Serta Masyarakat" yang pada ujungnya, setara dengan SPP. Negara telah menganggarkan sarana dan prasarana bagi kebutuhan terselenggaranya pendidikan sekolah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengapa masih memungut biaya terhadap peserta didik baru dalam kemasan "uang gedung", "uang pemeliharaan gedung", dan pelbagai istilah yang kesemuanya tak lebih dari hanya kamuflase belaka. Memangnya, rumah tangga negara ini tak profesional manakala menyelenggarakan pendidikan sekolah bagi anak bangsa?
Syahdan, di Sekolah Dasar Negeri, di kota kami, tersebutlah pungutan terhadap peserta didik baru dengan dalil untuk membangun WC dan Kamar Mandi sebesar "Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah". Dari mana para pelaksana ini menerjemahkan aturan sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan oleh negara, sehingga sebegitunya dan sempat-sempatnya membebani para peserta didik baru dengan biaya berdalilkan untuk membangun WC dan Kamar Mandi? Apakah para pelaksana ini sudah tak punya hati, bahwa yang dipungut itu adalah para orang tua dari peserta didik baru yang kesehariannya adalah sebagai buruh harian lepas?
Kali terakhir, fenomena tentang Paguyuban Wali Siswa ataupun Komite Sekolah, dibentuk hanya sebagai kamuflase pula agar ketika memungut biaya-biaya yang tidak tertera dalam aturan sistem pendidikan sekolah negeri, menjadi lepas tanggung jawab  atau cuci tangan bagi pelaksana pendidikan sekolah negeri, karena telah memperoleh rekomendasi dari Paguyuban maupun Komite Sekolah. Dan, Paguyuban maupun Komite Sekolah, adalah tak lebih dari "Kuda Tunggangan" pelaksana pendidikan sekolah negeri, agar terhindar dari pertanggungjawaban manakala telah melakukan "pungutan liar".
Praktik real dari pelaksana pendidikan sekolah negeri yang hipokrit dan berlindung di balik jubah abdi negara-abdi bangsa ...
Sekian, dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ...Â
*****