Adakah jurnalisme yang sungguh benar "pure" independen, dan berpijak pada prinsip-prinsip jurnalisme? Apakah itu dalam hal pewartaan, reportase, tayangan opini tulisan dari jurnalis lepas ataupun dari jurnalis internal sebuah lembaga jurnalisme itu sendiri, yang benar-benar mengedepankan objektivitas apa adanya tanpa ada keberpihakan pada sebuah kepentingan sepihak? Adakah ditemukan di era milenial yang ultra modern, serba digital, dan serba komputerisasi dengan segala network-nya?Â
Seberondong tanya yang harus saya kemukakan, dan bukan lantaran apa. Sebab, hingga sampai saat ini, saya yang bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, yang tak lebih dari warga biasa namun masih punya cita untuk menjadi apa-apa terhadap bangsa dan negeri ini, saya masih terobsesi untuk mendapatkan jawaban yang objektif ilmiah, berimbang, bukan basa-basi, bersyak wasangka, apalagi ada udang di balik batu dalam memenuhi jawaban atas tanya saya yang NO-tendesius. Terlebih lagi menyentuh ranah politik.Â
Tidak, dan bukan itu ..! Pure, murni bebas kontaminasi dari yang begitu itu ...
Begitulah yang bergayut di alam pikiran Si Paneri kali ini, setiap kali usai mengamati tayangan-tayangan yang tersaji di setiap media massa, cetak, elektronik, online, maupun di media sosial yang lebih familiar diakronimkan dengan medsLagi merenungkan apa, kawan? Koq, ayas  perhatikan sejak jelang Isyak tadi begitu enjoy-nya, sedhal-sedhul menghisap sigaret kretek kesukaan sampeyan itu, dengan sorot mata menerawang ke atas, ke atap teras, bersandingkan kopi tubruk kental versi Dampit yang biasanya manis-pahit itu," tegur ucap sapa Si Jhon kepada Si Paneri.
"Koq, tahu bingit dan detil sekali sampeyan itu, kawan? Sampeyan pas berada dimana, saat ayas beradegan sebagaimana yang sampeyan utarakan barusan itu?" tanya Si Paneri dengan rasa penasaran.
"Ayas pas berada di ruang tamu rumah, dan memperhatikan sampeyan dari balik jendela kaca, kawan. Hehehe ... " jawab Si Jhon sambil tersenyum.
Paneri; "Ooalaah ... makanya, koq sebegitunya sampeyan mengutarakan secara rinci atas kesendirian ayas tadi duduk di bangku teras rumah ini, kawan ... " kata Si Paneri tersipu.
"Bagaimana kawan Paneri, adakah yang tengah bergayut di benak sampeyan, yang mengobsesi alam pikiran sampeyan tentang fakta fenome di aspek kehidupan terkini? Di kala teknologi informasi yang begitu gampang nan canggih untuk diakses dan didayagunakan bagi kebutuhan manusia dalam membangun budaya dan peradaban, utamanya budaya dan peradaban ideal dalam tatanan yang dimaui oleh Tuhan Semesta Alam." Kata Si Jhon mengawali jagongannya, menyentil pembicaraannya dengan Si Paneri malam ini.
"Ya, kali ini bagaimana bila topik bincang kita adalah tentang ranah informasi terkait dengan jurnalisme dengan segala varian persoalan yang terlingkup di dalamnya. Misal, tentang akses publik dalam mendapatkan informasi yang objektif, transparan, ataupun tentang kebebasan berbicara dan beropini di ruang publik, lisan maupun tulisan dalam bingkai hak warga negara tanpa mengabaikan kewajibannya yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif di negeri ini. Bagaimana?" jawab Si Paneri.Â
 "Sepakat, kawan ... Silakan sampeyan memulainya, boleh jadi sampeyan sudah punya kerangka pembicaraan atau kisi-kisi dengan poin per poin untuk dibahas dan didiskusikan, terutama menyangkut jurnalisme yang cukup menarik ini. Silakan, kawan ..." kata Si Jhon memberi kesempatan kepada Si Paneri.
"Oke. Jurnalisme atau bila dinaturalisasikan ke dalam bahasa kita adalah kewartawanan. Adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Di negeri kita, Â istilah jurnalistik dulu dikenal dengan "publisistik". Dan, seiring dengan perkembangan dalam perguliran waktu, istilah publisitik tergantikan oleh istilah jurnalistik sebagai akibat dari pengaruh faham intercontinental yang dipelopori oleh Amerika sebagai negara adikuasa di Dunia di samping Uni Soviet yang saat ini sudah bubar, yang saat ini hendak dilanjutkan oleh Rusia. Dan, endapan dari istilah publisistik di negeri kita juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi. Begitu secara pandangan umum tentang jurnalisme atau kewartawanan." Ulas Si Paneri kali ini.
"Bisa ditambahkan tentang sejarahnya secara sekilas saja, kawan?" timpal Si Jhon.
"Oke. Di Indonesia, perkembangan aktivitas jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, dan Medan Prijaji terbit. Namun, pada masa pendudukan Jepang yang mengambil alih kekuasaan dari Belanda, koran-koran tersebut dilarang. Dan, pada akhirnya ada lima media yang mendapatkan izin terbit, yakni: Asia Raya, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kemudian, bergerak hingga Indonesia Merdeka, Masa Orde Lama, Orde Baru yang tidak memberikan keleluasaan pada aktivitas kewartawanan yang ditandai oleh banyaknya pembreidelan media massa. Dua kasus Harian Indonesia Raya dan Tempo (yang sampai saat ini masih eksis), adalah dua contoh yang nyata dalam sensor kekuasaan dimaksud. Di era Orde Baru, kontrol kekuasaam terhadap aktivitas kewartawanan dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih (salah satu tempat pendidikan wartawan Tempo), Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI." Kupas Si Paneri dalam kilasan sejarah aktivitas kewartawanan di negeri ini.
"Wah, hebat juga wawasan sampeyan tentang jurnalisme sebagaimana yang ayas simak dari ulasan itu tadi," kata Si Jhon.
"Ach, biasa-biasa saja, kawan ... Dan, semua itu kan tak lepas dari dorongan dan motivasi sampeyan kepada ayas agar selalu belajar, belajar, dan belajar apa saja di kehidupan ini, yang tak harus ditempuh di bangku formal. Ayas masih ingat dan mencamkan saran dari sampeyan." Kata Si Paneri merendah.Â
"Hahaha ... bisa saja sampeyan ini. Lantas obsesi apa dari sampeyan terhadap pokok persoalan di ranah jurnalisme ini, kawan, sehingga kita harus mendiskusikannya? Dan sampeyan adalah nara sumber pemantik yang tampak handal dan profesional dalam mengupas tuntas sebuah topik permasalahan dalam diskusi kita kali ini" kata Si Jhon lugas.
"Oke. Yang menggelitik alam pikiran ayas adalah tentang prinsip-prinsip jurnalistik, antara kerangka idealistik dengan realistiknya, apakah sudah terjadi harmonisasi dalam fakta realitanya di ranah sosial budaya dan peradaban di negeri kita ini? Itu pada esensi dan substansi obsesi ayas." Jawab Si Paneri menanggapi sinyal pancingan Si Jhon agar dirinya mengulas persoalan yang disikusikan menjadi lebih mendalam. (Bersambung)
Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ...
*****
Kota Malang, April di hari kedua puluh dua, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H