Ironis memang, di kala era telah ditasbihkan sebagai era milenial, berteknologi super canggih beratributkan perangkat yang serba digital dan serba komputerisasi. Namun, justru menjadi kontra produktif manakala dihadapkan pada perilaku mereka yang masih membuta, membuat garis demarkasi sendiri antara ajaran keyakinan dengan ilmu pengetahuan hingga jadi terpisah. Dan, itulah sekularisasi, kata Si Jhon kepada Si Paneri ...
"Maksud sampeyan apa itu, Jhon? Bisakah dijelaskan agar ayas jadi ngeh?" kata Si Paneri.
"Begini, kawan Paneri. Sains atau ilmu pengetahuan dan teknologi beserta turunannya sudah tak diragukan lagi untuk dikata begitu berkembang pesat menghiasi budaya dan peradaban manusia saat ini. Namun sayangnya, betapa masih banyak sebagian di antara kita yang bersikap atau berperilaku ganda atau berkepribadian ganda, yang dalam bahasa ndakik-nya adalah ambivalen atau ambigu." Tandas si Jhon tanpa tedeng aling-aling.
"Oh, ya? Bisa digamblangkan lagi ulasan sampeyan itu, Jhon?" kata Si Paneri dengan penuh harap.
Lumayan juga menurut Si Paneri ngobrol dengan tetangga dekat yang satu ini. Hitung-hitung dapat kuliah gratis tak berbiaya, yang walaupun tanpa harus mendapatkan sertifikat atau ijazah yang bagi Si Paneri hanya berkutat di ranah legalitas formal belaka, tanpa bersentuhan langsung dengan ranah implementatif praktik.Â
Lebih-lebih, saat ini, di era yang katanya milenial ini. Apa sih yang tak berbanding lurus dengan biaya? Wong, mau buang kotoran diri kita saja harus keluarkan biaya. Kencing 2k, pup 3k, itu fakta realitanya. Opo maneh sing diarani sekolah atawa kuliah? Wow, selangit deh, bandhane ...Â
Dan, sudah jadi rahasia umum, apabila mau mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran, harus siap dengan kocek "em-em-an" ..! Imposibel laah, Â bila sang anak berkeinginan mau mengenyam pendidikan di kedokteran, yang sekalipun berpotensi untuk bisa ke sana, yang lokasinya pun tak jauh dari kampung dimana Si Paneri dan Si Jhon bertempat tinggal.
Memang, ada sih yang lewat jalur beasiswa ataupun biaya sendiri. Namun, ya itulah, populasinya adalah satu berbanding seribu. Dan, proses pencapaiannya pun tak semudah membalik telapak tangan. Birokratis bingit.Â
Makanya, dalam hati si Paneri seringkali bertanya, "Dimanakah sebenarnya letak salah satu tujuan negeri ini tentang 'Mencerdaskan Kehidupan Bangsa', sementara yang miskin dan berkategori pra sejahtera ini berharap, bercita-cita dalam meraihnya?" pikir Si Paneri menerawang jauh.Â
Jelas, imposibel laah ... Dan, Si Paneri sendiri berwejang realistis kepada keluarga, utamanya anaknya yang ada empat, Â 2 orang yang masih duduk di bangku SD itu, untuk tidak bagai Punguk Merindukan Bulan dalam hal mengenyam pendidikan. Sing penting, iso maca, nulis dan berhitung tepat akurat, itu sudah bisa dijadikan modal dasar untuk hidup. Bahkan, lagu anak-anak yang sepenggal liriknya demikian, " ... besok gede aku mau jadi dokter ...", benar-benar oleh Si Paneri tak pernah sekalipun diajarkan atau diindoktrinasikan kepada anaknya. Sang istri Si Paneri pun, sudah diwanti-wanti untuk tidak mengajarkan lagu itu kepada anaknya-anaknya.
"Sederhana dan simpel saja, kawan. Coba perhatikan dengan cara seksama, walau tak harus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ..." sambung kata Si Jhon.
"Ya, silakan, dan pliss dilanjut ulasannya, kawan," sahut Si Paneri.
"Di lingkup sekitar kita saja, gak usah jauh-jauh dari kita saja, tolong diperhatikan. Sebagian dari mereka yang berlabelkan cerdik-pandai, intelektual, agamis, atau paduan dari intelektual dan agamis sekalipun, dan tak perlu ayas sebutkan satu per satu, siapa-siapa ya? Pernahkah sampeyan menyaksikan atau merasakan sendiri di lingkup sekitar kita ini sebuah wujud harmonisasi kehidupan yang memancarkan kehidupan saling kasih sayang dan saling memakmurkan? Dimana, yang merasa berlebih berbagi kepada yang berkekurangan secara seimbang dan proporsional, materi maupun immateri yang ditindaknyatakan oleh mereka, atau diteladankan oleh mereka sebagai konsekuensi logis atas predikat yang disandang dan diakui oleh masyarakat?" tanya Si Jhon kepada Si Paneri.
"Sik, sik ... Jhon, ayas koq masih belum mudheng," jawab Si Paneri lugu nan jujur, tanpa merasa malu-malu ataupun minder manakala bercengkerama berhadapan dengan Si Jhon.
"OK, kawan ... Ayas lanjutkan," sahut Si Jhon.Â
"Seorang cerdik-pandai, intelektual, ilmuwan, sang agamis, dan apalah istilahnya yang sepadan, apalagi yang bekategorikan tokoh, pada prinsipnya kan mengemban amanah yang ayas sebut sebagai 'misi suci' tanpa pamrih bagi kemanusiaan yang beradab terhadap sekelilingnya yang paling dekat atau para tetangga. Yakni, membagikan ilmu praktisnya kepada sekitarnya yang memang benar-benar patut dan layak untuk mendapatkan pencerahan dan dalam praktik langsung secara nyata, bukan di awang-awang dalam kemasan retorika belaka atau narasi-narasi belaka, yang tak hanya melambungkan angan-angan saja. Misal, tentang surga-neraka, pahala-dosa, menjadi sarjana hingga menjadi profesor, dan tentang bagaimana cara mendapatkannya. Atau, tentang pendidikan yang arah besar ke depannya adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara." Ulas Si Jhon yang tampak masih belum tuntas itu. Sebab, waktu telah menunjuk pada 00:00 WIB, yang berarti keduanya harus rehat dulu, dan bisa dilanjutkan pada kesempatan jagongan selanjutnya ... (Bersambung ke Bagian 2)Â
Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ...
Â
*****
Kota Malang, April di hari kelima belas, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H