Kawan, kukatakan kepadamu karena aku merasa bila engkau adalah satu-satunya karibku yang tersisia. Dan, yang lain telah mendahului kita, menghadap kepada Yang Maha Pencipta menuju alam baka.
Aku tak mengeluh, aku hanya mencurahkan isi hati dan pikiran yang selama ini kupendam. Dan, hanya kepadamulah kucurahkan. Sebab, kepada siapa lagi aku harus mencurahkan isi hati dan pikiran ini, bila tidak kepadamu?
Jalan hidup yang tengah kujalani apa memang harus begini, manakala aku sudah berupaya untuk berbuat sebaik mungkin bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitarku yang paling dekat, masih saja  aku disalahkan. Aku telah berupaya, bagaimana seharusnya menanam nilai dan prinsip kebajikan tanpa memandang kepada mereka itu siapa, tanpa membeda-bedakan mereka itu siapa.Â
Manakala sebagian dari mereka datang kepadaku, memohon pertolongan , maka bila memang aku bisa, kupenuhi permohonannya. Sebaliknya, manakala aku tak kuasa menolong mereka, cacian dan umpatan pun menghujamku, luapan kekecewaan mereka . Aku bukan malaikat, apalagi Tuhan yang berkuasa di atas segalanya. Dan, sebagian dari mereka tak bisa menerimanya ...
Apakah aku memang harus begini? Bergulat dengan kenyataan yang rasanya aku sudah tak tahan lagi. Saat mereka membutuhkan aku, mereka ramah. Saat sudah tak membutuhkan aku, mereka menjadi pemarah ...
Kawan, sebaiknya aku harus bagaimana? Adakah anjuran terbaik darimu untukku?
Kutulis sajak ini kepadamu, kawan, karena hanya engkaulah yang masih bisa kusebut sebagai kawan, saudara, kerabat dan karibku yang tersisa meski kita bukan bagian dari yang sedarah ...
*****
Kota Malang, November di hari kedua belas, Dua Ribu Dua Puluh Dua.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H