Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jurnalisme dan Berita Selera Pesanan

12 November 2022   02:37 Diperbarui: 12 November 2022   06:13 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kewartawanan atau jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Kewartawanan dapat dikatakan sebagai coretan pertama dalam sejarah. Meskipun berita sering kali ditulis dalam batas waktu terakhir, namun biasanya disunting terlebih dulu sebelum ditayangkan. Aktivitas kewartawanan tentu tak lepas dari pelaku di ranah tersebut. Mereka sering disebut sebagai pewarta, wartawan, atau jurnalis.

Seorang wartawan sering kali menjadi saksi dalam setiap peristiwa yang memiliki nilai-nilai berita. Tak jarang mereka harus berinteraksi dengan sumber yang kadang kala melibatkan konfidensialitas (sebuah status atau keadaan dimana hal-hal tertentu menjadi tertutup bagi pihak-pihak yang tidak seharusnya memiliki akses dan meliputi semua hal yang bersifat lisan maupun tulisan mengenai suatu hal yang terjadi sebelum ataupun yang direncanakan). 

Para jurnalis ini umumnya bekerja pada sebuah industri yang disebut media. Dimana media mengandung arti sebagai wadah penyalur antara pihak pertama dan ketiga. 

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, media berarti jembatan antara pemerintah dan rakyatnya. Oleh sebab itu, setiap pelaku media harus memiliki independensi dan memihak hanya pada kebenaran berdasarkan fakta. Pertanyaannya, seberapa konsistenkah para jurnalis dalam menegakkan prinsip jurnalistik, yakni independensi dan memihak hanya pada kebenaran berdasarkan fakta?

Aktivitas utama di ranah kewartawanan, khususnya bagi setiap wartawan adalah meliput, mengolah, dan menyajikan sebuah informasi dalam bentuk berita kepada publik. Secara lebih sederhana, pewarta dapat juga dikatakan sebagai orang yang melaporkan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. 

Dengan kata lain, mereka berpegang pada berita yang berdasarkan konsep 5W+1H (What, Who, Where, When, Where dan How). Namun di kondisi saat ini, dunia kewartawanan semakin kompleks karena setiap pelaku media bersaing atau berkompetisi untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat. Mereka umumnya tergabung dalam sejumlah media, antara lain: koran, televisi, radio, majalah dan digital media yang tengah dikembangkan dewasa ini. 

Tugas pokok jurnalisme adalah: menyampaikan kebenaran, memiliki loyalitas kepada masyarakat, memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi, memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya, memiliki kemampuan untuk memantau kekuasaan, menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik, menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik, membuat berita secara komprehesif dan proporsional, memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka.

Pertanyaan yang patut dan layak diajukan sehubungan dengan prinsip jurnalistik bagi jurnalis adalah, seberapa konsistenkah para jurnalis ketika terikat oleh media industrial dalam memgemban tugasnya? Apakah mampu menghindari intervensi politik kekuasaan, tak terkecuali terhadap kekuasaan media yang mewadahi dan yang menghidupinya? 

Apalagi ketika sebuah media yang telah berlabelkan industri dan serba kapitalistik ini, maka prinsip ekonomi kapitalis dengan adagium yang populer, yakni bagaimana berusaha dengan modal sekecil-kecilnya guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga celah mengorbankan prinsip jurnalistik dalam upaya penegakannya, bukan tidak mungkin menjadi goyah seiring dengan keterikatannya terhadap perusahaan media yang sudah mengindustrial.

Fakta realita fenomenal yang bisa dikonfrontrir terhadap jurnalisme dengan prinsip jurnalistiknya adalah manakala negeri ini dihantam badai isu Pandemi Covid-19 yang super heboh dan menghebohkan serta maha dahsyat yang sekarang sudah berlalu dalam rentang waktu 2 tahun itu, maka siapakah yang paling berandil besar dalam menghebohdahsyatkan isu Pandemi dimaksud di negeri ini yang walaupun sudah mendunia kehebohdahsyatannya itu? 

Dan, jawaban dari mayoritas masyarakat kebanyakan di negeri ini adalah media massalah yang paling berandil besar dalam menghantarkan negeri ini menerima akibat dari isu dimaksud, yakni lumpuhnya segenap sendi kehidupan bangsa dan negara dengan mengorbankan anggaran yang luar biasa besarnya. 

Hanya karena hembusan isu Pandemi yang didukung oleh peran media massa dengan pewartaannya. Media massa dengan awak jurnalisnya, dalam hal ini, telah kehilangan jatidirinya serta prinsip-prinsip jurnalistik yang diembannya. Salah satunya adalah tak lagi berpegang teguh pada pemberitaan yang objektif ilmiah dalam koridor prinsip-prinsip jurnalistik.

Sedikit menengok ke belakang dalam rentang dua tahun yang telah berlalu. Berawal dari pidato presiden pada 31 Maret 2020 yang disiarkan oleh segala jenis media massa di negeri ini, dimana esensi pidato dimaksud adalah penetapan Pandemi Covid-19 di Indonesia_Nusantara, kemudian berlanjut dengan Maklumat Kapolri guna mengawal penetapan Darurat Kesehatan yang pada 01 April 2021 dituangkan dalam Perpres dan Inpres sebagai payung hukum legalitas formalnya agar segera dilakukan tindakan antisipatif atas isu yang telah disosialisasikan itu, maka penduduk Indonesia_Nusantara pun menjadi kalang kabut dibuatnya.

Masyarakat bagai gabah diinteri begitu menerima berita tentang lockdown, PPKM, PSBB, Prokes dengan vaiabel wajib masker, jaga jarak, larangan berkerumun di malam hari, pembatasan aktivitas masyarakat maksimal jam 20:00, bla bla bla berujung pada wajib vaksin dan sebagainya. 

Belum lagi dengan pemberitaan yang berasal dari kalangan medis sebagai yang dianggap paling berkompeten di bidang kesehatan, penyakit dan wabah yang diisukan telah melanda negeri ini, maka kian menambah kalang kabutnya mayoritas masyarakat kebanyakan berstrata sosial menengah ke bawah yang boleh jadi disebut awam, hidup dalam bayang-bayang kekalutan dan ketakutan akibat hembusan isu Pandemi Covid-19 yang justru dihantarkan oleh peran media massa dengan awak jurnalisnya.

Apalagi dari kalangan medis yang sok ilmiah dengan terminologi-termonilogi medikal yang dimainkan yang jauh dari prinsip "Sampaikanlah pesan objektif ilmiah itu dengan bahasa kata sederhana dalam bahasa kaummu agar mereka mengerti dan memahami dengan sepenuh penanggapan", berakibat sulit dipahami oleh mayoritas masyarakat kebanyakan sehingga memperluas dan mememperpanjang kekalangkabutan masyarakat yang notabene adalah awam dalam hal pengetahuan tentang penyakit, wabah dan kesehatan di kala dalam situasi dan kondisi dihantam oleh badai isu Pandemi Covid-19. 

Pada dikemanakan prinsip-prinsip jurnalistik dalam memverifikasi, mengklarifikasi dari nara sumber sebelum diberitakan oleh jurnalis agar pemberitaan dimaksud benar-benar objektif ilmiah dan berpihak hanya pada kebenaran ilmiah? 

Sudah goyahkah para jurnalis dengan prinsip-prinsip jurnalistiknya? Sudah tak tahankah dengan cengkeraman kapitalisme yang dimainkan oleh media industrial kapitalistik yang menaungi kehidupan para jurnalis sehingga harus mengorbankan prinsip jurnalistiknya?

Sekedar masukan, bahwa bersikap ilmiah itu wajib memenuhi variabel Metodologi, Sistematika, Analitika dan Objektif sebagai syarat dan kaidah tentang sesuatu disebut ilmiah, bukan mitos, apalagi hanya sebuah isu. 

Sikap ilmiah itu bukan hanya sebatas pada narasi-narasi persuasif kepada publik agar publik mengamininya. Bukan itu! Sesuatu baru dinamakan ilmiah, harus melalui uji lapang pembuktian, sehingga akan tercipta tentang padunya gagasan, konsep, teori dengan kenyataaan, dan klop! Sehingga itulah yang akan bermuara pada objektif ilmiah, bukan narasi retorika dan teori belaka. 

Dan, isu adalah sebuah masalah yang belum terpecahkan yang siap diambil keputusannya. Isu, rumor, atau desas-desus adalah suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan oleh satu atau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi dan penyesuaian sektor swasta, kasus pengadilan sipil atau kriminal atau dapat menjadi masalah kebijakan publik melalui tindakan legislatif atau perundangan. Isu merepresentasikan suatu kesenjangan antara praktik korporat dengan harapan-harapan para pemangku kepentingan (stakeholder). 

Berdasarkan definisi yang telah disebutkan di atas, isu adalah suatu hal yang terjadi baik di dalam maupun di luar organisasi yang apabila tidak ditangani secara baik akan memberikan efek negatif terhadap organisasi dan berlanjut pada tahap krisis. Simpelnya, isu itu sesuatu yang belum tentu kebenarannya dan masih patut diuji kebenarannya melalui proses uji pembuktian, agar bisa dinamakan kebenaran ilmiah. 

Nah, apakah prinsip-prinsip jurnalistik itu tidak mengusung kebenaran objektif ilmiah yang wajib melalui proses uji pembuktian sebelum menayangkan sebuah pemberitaan?

Salam Seimbang sebagai Bangsa Indonesia_Nusantara ...

*****

Kota Malang, November di hari kedua belas, Dua Ribu Dua Puluh Dua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun