Dan, jawaban dari mayoritas masyarakat kebanyakan di negeri ini adalah media massalah yang paling berandil besar dalam menghantarkan negeri ini menerima akibat dari isu dimaksud, yakni lumpuhnya segenap sendi kehidupan bangsa dan negara dengan mengorbankan anggaran yang luar biasa besarnya.Â
Hanya karena hembusan isu Pandemi yang didukung oleh peran media massa dengan pewartaannya. Media massa dengan awak jurnalisnya, dalam hal ini, telah kehilangan jatidirinya serta prinsip-prinsip jurnalistik yang diembannya. Salah satunya adalah tak lagi berpegang teguh pada pemberitaan yang objektif ilmiah dalam koridor prinsip-prinsip jurnalistik.
Sedikit menengok ke belakang dalam rentang dua tahun yang telah berlalu. Berawal dari pidato presiden pada 31 Maret 2020 yang disiarkan oleh segala jenis media massa di negeri ini, dimana esensi pidato dimaksud adalah penetapan Pandemi Covid-19 di Indonesia_Nusantara, kemudian berlanjut dengan Maklumat Kapolri guna mengawal penetapan Darurat Kesehatan yang pada 01 April 2021 dituangkan dalam Perpres dan Inpres sebagai payung hukum legalitas formalnya agar segera dilakukan tindakan antisipatif atas isu yang telah disosialisasikan itu, maka penduduk Indonesia_Nusantara pun menjadi kalang kabut dibuatnya.
Masyarakat bagai gabah diinteri begitu menerima berita tentang lockdown, PPKM, PSBB, Prokes dengan vaiabel wajib masker, jaga jarak, larangan berkerumun di malam hari, pembatasan aktivitas masyarakat maksimal jam 20:00, bla bla bla berujung pada wajib vaksin dan sebagainya.Â
Belum lagi dengan pemberitaan yang berasal dari kalangan medis sebagai yang dianggap paling berkompeten di bidang kesehatan, penyakit dan wabah yang diisukan telah melanda negeri ini, maka kian menambah kalang kabutnya mayoritas masyarakat kebanyakan berstrata sosial menengah ke bawah yang boleh jadi disebut awam, hidup dalam bayang-bayang kekalutan dan ketakutan akibat hembusan isu Pandemi Covid-19 yang justru dihantarkan oleh peran media massa dengan awak jurnalisnya.
Apalagi dari kalangan medis yang sok ilmiah dengan terminologi-termonilogi medikal yang dimainkan yang jauh dari prinsip "Sampaikanlah pesan objektif ilmiah itu dengan bahasa kata sederhana dalam bahasa kaummu agar mereka mengerti dan memahami dengan sepenuh penanggapan", berakibat sulit dipahami oleh mayoritas masyarakat kebanyakan sehingga memperluas dan mememperpanjang kekalangkabutan masyarakat yang notabene adalah awam dalam hal pengetahuan tentang penyakit, wabah dan kesehatan di kala dalam situasi dan kondisi dihantam oleh badai isu Pandemi Covid-19.Â
Pada dikemanakan prinsip-prinsip jurnalistik dalam memverifikasi, mengklarifikasi dari nara sumber sebelum diberitakan oleh jurnalis agar pemberitaan dimaksud benar-benar objektif ilmiah dan berpihak hanya pada kebenaran ilmiah?Â
Sudah goyahkah para jurnalis dengan prinsip-prinsip jurnalistiknya? Sudah tak tahankah dengan cengkeraman kapitalisme yang dimainkan oleh media industrial kapitalistik yang menaungi kehidupan para jurnalis sehingga harus mengorbankan prinsip jurnalistiknya?
Sekedar masukan, bahwa bersikap ilmiah itu wajib memenuhi variabel Metodologi, Sistematika, Analitika dan Objektif sebagai syarat dan kaidah tentang sesuatu disebut ilmiah, bukan mitos, apalagi hanya sebuah isu.Â
Sikap ilmiah itu bukan hanya sebatas pada narasi-narasi persuasif kepada publik agar publik mengamininya. Bukan itu! Sesuatu baru dinamakan ilmiah, harus melalui uji lapang pembuktian, sehingga akan tercipta tentang padunya gagasan, konsep, teori dengan kenyataaan, dan klop! Sehingga itulah yang akan bermuara pada objektif ilmiah, bukan narasi retorika dan teori belaka.Â
Dan, isu adalah sebuah masalah yang belum terpecahkan yang siap diambil keputusannya. Isu, rumor, atau desas-desus adalah suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan oleh satu atau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi dan penyesuaian sektor swasta, kasus pengadilan sipil atau kriminal atau dapat menjadi masalah kebijakan publik melalui tindakan legislatif atau perundangan. Isu merepresentasikan suatu kesenjangan antara praktik korporat dengan harapan-harapan para pemangku kepentingan (stakeholder).Â