Langkah Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa membolehkan anak keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendaftar jadi prajurit TNI mendapat apresiasi. Gebrakan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang dianggap mengejutkan melalui kebijakannya itu adalah mengenai persyaratan seleksi penerimaan prajurit perwira karier, bintara karier, dan tamtama karier pada periode 2022. Terobosan yang mengundang perhatian publik terkait dicabutnya larangan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam keikutsertaannya seleksi prajurit TNI, memang patut dan layak untuk diapresiasi. (Kompas.com, 1 April 2022)
Menurut Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas, ini harus diikuti kebijakan yang konkret. Terkait PKI, Anton menilai, pembuatan kebijakan itu sebagai bentuk pelembagaan atas sikap antidiskriminasi di lingkungan TNI . "Hal ini penting dilakukan guna menghindari adanya dugaan 'lip service' atau keputusan yang bersifat ad-hoc semata," ungkap Anton sebagaimana yang diliris sindonews.com, Minggu, 3 April 2022.
Bukan tanpa dasar argumentatif kebijakan itu dikeluarkan oleh sang Panglima TNI ini. Sebab, bila sebelumnya larangan bagi keturunan PKI dalam berpartisipasi mengikuti seleksi prajurit TNI, benar-benar menjadi penghadang dan berakibat pada hilangnya minat mereka yang telah mendapat setempel sebagai keturunan eks PKI dalam mengikuti seleksi. Fenomena larangan dimaksud, pada gilirannya terkesan sebagai perlakuan disikriminatif terhadap warga negara.
Padahal, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Begitu halnya sebagai kelanjutannya adalah bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Kesemuanya itu merupakan amanah UUD 1945 sebagaimana yang tertera di dalam batang tubuh UUD 1945, khususnya di pasal 27, sebagai acuan bahwa negara telah mengesampingkan soal diskriminasi bagi warganya.Â
Kalaupun larangan terhadap para generasi anak bangsa yang dikaitkan dengan keturunan PKI, sehingga terhalang untuk berpartisipasi dalam rekrutmen prajurit TNI, adalah karena bertitik tolak dari TAP MPRS NOMOR XXV TAHUN 1966. Nah, demi objektivitas sebuah kebijakan negara agar tak berkesan diskriminatif terhadap warganya, maka ada baiknya kita cermati isi TAP MPRS 1966 dimaksud, dengan harapan agar tak terjadi mispersepsi terkait dengan pelarangan dan dasar hukum yang mengaturnya.
TAP MPRS NOMOR XXV TAHUN 1966. Â
Tentang:Â
Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia,Â
Menimbang:
a. Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada hakekatnya bertentangan dengan Pancasila;Â
b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang mengenal faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme,             khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha     merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan cara kekerasan.
c. Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan          yang menyebabkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
Mengingat:Â
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3).
Dan seterusnya ...
Sampai di sini, mari dicermati secara seksama, adakah relevansinya antara esensi isi TAP MPRS 1966 dengan larangan terhadap yang ditengarai sebagai keturunan PKI untuk menjadi prajurit TNI?
Esesnsi dari TAP MPRS 1966 dimaksud adalah sebagai berikut:
- Pembubaran PKI dan organisasi yang terkait, dari pusat hingga daerah
- Pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang
- Penyebaran dan pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dari esensi TAP MPRS NOMOR XXV Tahun 1966 dimaksud, nyata sekali bahwa larangan bagi keturunan PKI untuk menjadi prajurit TNI, tidak berdasarkan pertimbangan hukum. Sehingga kebijakan yang melarang keturunan PKI, lebih didasarkan kepada aspek politis yang diwariskan Orde Baru, daripada pertimbangan hukum yang berkeadilan, persamaan kdudukan, hak dan kewajiban warga negara di depan hukum, atau equal before of the law.
Dari sudut pandang Hukum Pidana, apakah sanksi dari akibat tindak pidana seseorang akan berkelanjutan dibebankan terhadap keturunannya? Apalagi, bila keturunan yang dimaksud tak terlibat langsung maupun tak langsung, atau tak tak tahu menahu terhadap kejadian tindak pidana yang dilakukan oleh orang tuanya? Maka, pelanggaran atau tindak pidana apakah yang telah dilakukan oleh keturunannya sehingga harus menerima sanksi yang diskriminatif itu?
Tanggung jawab pidana, hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige). Oleh karenanya, adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum, yang apabila tanggung jawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tak terlibat secara langsung.Â
Dengan demikian, maka berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut dan untuk menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum, seharusnya pernyataan Panglima TNI yang menolak diskriminasi latar belakang keluarga calon prajurit TNI tersebut harus dipandang sebagai suatu kewajiban Jenderal Andika sebagai orang nomor satu di institusi TNI.
Sekian dan terima kasih. Salam Satu Bangsa Indonesia_Nusantara dalam Bhinneka Tunggal Ika, Salam Seimbang berfalsafah Pancasila ...
*****
Kota Malang, September di hari kedua puluh, Dua Ribu Dua Puluh Dua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H