Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai dan Harga Kebajikan Universal

25 Juli 2022   23:23 Diperbarui: 26 Juli 2022   14:10 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kebajikan Mettasik - Maybank Finance"

Ya, saya sepakat dengan suatu adagium atau ungkapan ini, "Perubahan itu pasti, Kebajikan Harga mati". Sebab, yang namanya perubahan itu pasti terjadi, seiring dengan dinamika sejarah kehidupan manusia, terlepas apakah perubahan itu menunjukkan ke arah yang lebih baik, ataupun sebaliknya, yang tak mungkin dihindari dalam konteks kehidupan masyarakat manusia. 

Sedangkan tentang kebajikan, apalagi yang berbobot dan bersifat universal, sudah selayaknya ditanamkan di dalam setiap pribadi, apabila berharap dan bercita menuju perwujudan harmonisasi kehidupan yang tertib, teratur dan penuh keseimbangan di keseluruhan aspek hidup manusia menurut Tuhan Semesta Alam  yang menciptakannya. 

Universalitas yang dimaksudkan, adalah tanpa memandang Suku, Ras, Agama dan Golongan, apabila benar-benar berkemauan kuat dalam menjalankan nilai-nilai kebajikan universal.

Suatu ketika, ada pesan WA dari tetangga satu kampung dengan saya,  29 September 20221, isi pesan tersebut seperti ini,

"Mohon maaf sebelumnya, saya mau ngrepoti panjenengan, saya mau pinjam 1 juta, butuhnya hari ini, insya Allah bulan depan tak kembalikan".

Karena waktu itu saya  sedang berada di luar kota, sedang mengunjungi sahabat semasa sekolah dulu, dan sudah lama tak pernah ketemu, maka saya berinisiatif menyuruh anak saya di rumah untuk memenuhi harapan sang tetangga yang boleh jadi sangat membutuhkan, apalagi situasi dan kondisi negeri sedang dilanda pandemi Covid-19, sehingga sayapun harus memakluminya.

Singkat cerita, saya hubungi anak saya melalui kontak WA, yang intinya supaya mengantarkan uang 1 juta rupiah tersebut kepada sang tetangga yang sedang membutuhkan. Anak lelaki saya pun sempat bertanya, "Dalam rangka apa, Pak, koq saya diperintahkan untuk menyampaikan uang sebesar itu kepada tetangga kita?" saya jawab dengan simpel saja, "Tadi, dia mem-WA saya bila ada kebutuhan yang mendesak. Sementara, kamu kan tahu bila bapak dengan ibu sedang di Surabaya, mengunjungi sahabat lama bapak?". Anak lelaki saya pun menindaklanjuti apa yang saya perintahkan, tanpa ba-bi-bu lagi.

Memasuki Oktober akhir 2021, sang tetangga tersebut, koq tak ada action apa-apa, sebagaimana komitmen yang disampaikan melalui pesan WA pada 29 September 2021, yang hingga saat ini belum saya hapus di HP saya terhadap pesan tersebut? Yakni, "Bulan depan akan saya kembalikan". 

Bahkan, saat ini yang sudah memasuki Juli 2022, komitmen sang tetangga itu, dalam hal mengembalikan pinjaman tersebut, belum dipenuhi. Pernah, pada 15 Juni 2022, saya mencoba mem-WA sang tetangga itu, yang isi pesan WA demikian, "Apa kabar, Mas? Sampeyan apa sudah ada untuk mengembalikan uang yang pernah saya pinjamkan dulu itu, pada 29 September 2021 saat saya sedang di Surabaya, yang akhirnya diantarkan oleh Thole ke rumah sampeyan? Maaf, lho? Saya terpaksa mem-WA sampeyan, karena setiap kita bertemu, sampeyan tak pernah ngomong apa-apa, perihal pengembalian pinjaman?" Sang tetangga menimpali pesan WA saya, demikian, "Bagaimana, ya? Saya, masih belum ada buat mengembalikan uang yang pernah saya pinjam dari panjenengan. Mohon panjenengan maklum, nggih? Saya masih dalam kesulitan ekonomi sejak pandemi, usaha saya masih sepi."

Apa hendak dikata, bila jawaban sang tetangga sudah seperti itu? Saya masih berbepang teguh pada satu prinsip, yang semoga masih konsisten untuk saya pertahankan. "Hidup ini, wajib saling berbagi pada batas apa yang kita miliki sebagai karunia dari Tuhan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa ..."  

Saya tak ingin, di kala saya berupaya membantu tetangga yang sedang mengalami kesulitan, lalu saya bersikap acuh tak acuh, tak mau tahu, apalagi bersikap kasar dengan berkata yang bukan-bukan kepada tetangga tersebut, lantaran belum bisa memenuhi janjinya kepada saya. Sekalipun, saya sendiri boleh dikata bukan yang kategori berkelebihan juga dalam hal keuangan. 

Namun, saya masih bersyukur karena masih bisa meminjamkan uang kepada tetangga di saat sang tetangga membutuhkan dan terdesak oleh kebutuhan sehari-harinya, saat negeri sedang dilanda pandemi.

Dalam membantu, berupaya berbuat kebajikan kepada siapapun, termasuk membantu kesulitan keuangan tetangga sebagaimana yang saya kemukakan di sini, saya menghindari apa yang disebut dengan ria lantaran telah berbuat baik, istilahnya. 

Sebab, manakala saya mengulurkan bantuan, entah itu memberi pinjaman, ataukah memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan secara cuma-cuma, tanpa berharap imbalan atas apa yang saya berikan, materi maupun ilmu, maka saya harus berpedoman pada prinsip berikutnya, yakni, "Ketika tangan kananmu memberi, usahakan tangan kirimu jangan sampai tahu", begitu ibaratnya. 

Dan, karena sesungguhnya, nilai-nilai Kebajikan, memang adalah Harga Mati yang patut ditumbuhkembangkan, apalagi di zaman yang penuh dengan ketidakpastian seperti saat ini.

Demikianlah, sekelumit kisah dari sekian kisah yang pernah saya alami di keseharian saya, tentang apa itu nilai-nilai kebajikan universal yang seharusnya dan selayaknya saya praktikkan dalam mengarungi kehidupan, terutama dalam hal romantika kehidupan bertetangga. 

Saling berbuat kebajikan harus ditumbuhkembangkan, yang sekalipun acapkali, apa yang telah kita lakukan yang menurut diri kita adalah bernilai dan berharga kebajikan, lalu ditanggapi oleh orang lain sebagai hal yang berbeda, serta macam-macam dalam ranah negative thingking, maka, biarkanlah sejarah yang akan menjawabnya, Tuhan Semesta Alam yang akan menilainya, di dunia dan di kahirat nanti ...

Sekian dan terima kasih. Salam Satu Bangsa Indonesia Nusantara, Salam Pancasila, Salam Kebajikan Universal ... Semoga!

Kota Malang, Juli hari kedua puluh lima, Dua Ribu Dua Puluh Dua.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun