"keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"
berpijak dari sinilah tentunya, harus dimulaiÂ
guratan jeritan jiwa dan alam pikiran kita kali ini
betapa tidak, karena kepalsuan tak malah mereda, justru kian membabi buta meraja lela
belum dingin tentang mandalika, menyembul hingar bingarlah formula menggantikannya
apa yang hendak dicapai?
hanya mercu suarkah, agar dunia memuja mengelu-elukannya?
begitukah?
di kala salah satu di antara kita, selaras dengan skala cakupan kemampuannya
didapuk sebagai pemimpin oleh sang kebanyakan
sadarilah akan prinsipalnya, apa dan mengapa
bahwa pemimpin sejati dan sejatinya pemimpin, adalah pemanggul beban atas nasib hajat hidup para kebanyakan
di pundaknya memikul kewajiban, tanggung jawab yang seharusnya diwujudkan di alam nyata, bukan fatamorgana dalam samudra narasi dan kata-kata belakaÂ
tentang sejahtera, kemakmuran, keadilan, kasih sayang antar sesama dalam prinsip keseimbangan
bukan lantaran harta dan tahta dalam dorongan nafsu bersama ambisinya
Â
mari kita bertanya kepada mereka yang merasa nyaman bertengger di singgasana
bergelak tawa di puncak menara gading dengan jubah segala gelar yang disandangnya
seperti apakah jawab mereka?
Â
adakah pertalian erat laksana sebuah sistematika, antara mandalika, formula dan sang jelata
di kala cita menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah janji sumpah bagi siapapun sebagai anak bangsa ..?
Â
Kota Malang, Juni hari keempat, Dua ribu dua puluh dua,Â
"Saatnya kita harus bertanya kepada mereka yang hidup bertengger di singgasana dan di puncak menara gading dengan jubah segala gelar yang disandangnya ..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H