karena masih tergores dalam kamus hidup, agenda serta rencana
mentradisi membudaya berujung bersiklus dalam saban tahunnyaÂ
pulang kampung, selatan kampung  dari titik udik, lalu menjadi hilir mudikÂ
dan, tak sebatas itu jalan bergulirnya
meledak meluas merambah seantero negeri mewujud sebagai fenomena
memadu kasih berhiaskan cinta membuta dalam rupa irama lebaran
bersinggunglah pula dengan penanda hari raya selainnya, lantaran dipercaya dengan keyakinannyaÂ
adalah karena masih merasa sebagai insan rantau yang bermula dari udik bertaruh menuju hilir
karenanya tradisi yang membudaya itu meneteskan soal sejumput demi sejumput teruslah membongkah
risiko, insiden, waktu, tenaga, daya biaya tak lagi mengusik pikiran
demi nilai yang harus ditempuh dengan harga juang dan pengorbanan
dari manakah semua itu bermula?
berpatron atas konsepsi apakah semua itu dijalankan?Â
mudik habis-habisan yang alpa dengan keseimbangan ...
Kota Malang, April hari kedua puluh tujuh, Dua ribu dua puluh dua,
"Masihkah kata mudik menghiasi kamus hidup ini, Kawan ..?" Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H