Perang Candu, sebagai mana dalam imperialisme dan kolonialisme sejarah Bangsa Tiongkok, justifikasi agama adalah candu bagi Karl Marx dengan das capital -nya yang diilhami oleh situasi dan kondisi Abad Pertengahan di Eropa pada umumnya yang didominasi oleh pengaruh kekuasaan gereja, bukan berarti sebuah prinsip pendirian tanpa dasar pemahaman yang radik.
Justru yang demikian itulah sebuah reaksi responsif realistis, karena, kondisi sosial budaya masyarakat yang dihadapi Marx, bena-benar terbius oleh dogma gereja yang agamistis yang tak mampu memberi jawaban kepastian terhadap problematika di masyarakat yang dihadapi Marx saat itu.Â
Candu yang menghantar penggunanya jadi tenggelam dalam bayangan dan impian, tidak ubahnya agama yang berorientasi mengejar pahala, mengenyahkan dosa, mengejar sorga mengindari neraka, bagi Marx adalah konsepsi imajiner yang hanya di awang-awang dan tidak pernah membumi sebagai kepastian jawaban yang diinginkan manusia pemburu prinsip pendirian jatidiri menghadapi kenyataan hidup.Â
Antitesis terhadap faktor produksi rantai ekonomi yang dikuasai kelompok borjuis kapitalis yang ditengarai telah menghisap para buruh proletar sebagai penyanggah rotasi mesin produksi dan industri yang di satu sisi terjadi melimpahnya keuntungan berlipat bagi pemilik modal dan sebaliknya penyanggah utama yang menghasilkan keuntungan dimaksud.
Justru hidup dalam tekanan dan kemiskinan. Itulah fenomena sosial masyarakat yang melahirkan kubu penindas dan tertindas, penghisap dan terhisap sebagai tesis yang harus dijawab dengan sebuah antitesis.Â
Apalagi, di tengah-tengah sistuasi dan kondisi masyarakat yang dalam genggaman hegemoni borjuis dan para sang aulia agamis gereja, terjadi jual beli Surat Penebusan Dosa sebagai tiket menuju sorga, yang sudah tak disoal sebagai satu hal yang tak patut atau tak pantas dan tak layak dijadikan sebagai komoditas dagang.Â
Penggembala umat yang mestinya steril dari urusan materi duniawi, pada kenyataannya justru terjebak ke dalam soal untung_rugi, materi dan ekonomi kapitalisme, menjadikan pemikir yang tengah mencari jawaban tentang harmonisasi kehidupan, pada akhirnya melahirkan ide antitesis dalam menjawabnya sebagai perantauan hasil kontemplasi dan intuisi.
Filsafat yang lebih cenderung berorientasi memburu kebijaksanaan dalam menjawab problematika hidup, sehingga diharapkan melahirkan para pecinta kebijaksanaan yang arif nan bijak, di ujung hasil renungan berpikirnya dalam menjawab tantangan fenomena kehidupan adalah sebuah jawaban polemik menurut varian alirannya.Â
Bahkan, pertentangan antar aliran yang lebih dikenal sebagai polemik tersebut, justru dianggap sebagai hikmah kebijaksanaan dan bukan sebagai ujud yang disharmonis.Â
Bagaimana mungkin dikatakan sebagai kehidupan harmonis, bila realitas di dalamnya terjadi pertentangan dari para pihak yang merupakan polemik, yakni berjalan dari satu polemik ke polemik lainnya, polemik baru dihasilkan atau terlahir akibat dari polemik sebelumnya?Â
Dimana letak menjawab dan merumuskan tentang jawaban atas tantangan kehidupan yang diharapkan bermuara pada kehidupan harmonis (seimbang)?Â