Belakangan ini publik sedang ramai dengan istilah "tone deaf". Sebenarnya apakah "tone deaf" itu? Secara sederhana, "tone deaf" dapat diartikan bersikap tidak peduli dengan selain dirinya, lebih tepatnya tidak peduli dengan kondisi sosial sekitarnya.
Terkait dengan hal tersebut, saya punya pengalaman berinteraksi dengan orang yang "tone deaf". Mungkin sudah tak terhitung rasa tak nyaman yang saya rasakan tiap kali harus (terpaksa) berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tersebut.
Sebut saja dia "Cindy". Orangtuanya, saudara-saudaranya, dan keluarga besarnya benar-benar cukup stres dengan sikap Cindy yang selalu tidak peduli. Jika di whatsapp hari ini, besok baru dibalas, atau sering juga tidak dibalas. Padahal dia jelas-jelas dalam kondisi tidak sibuk. Hampir setiap hari, Cindy tidak pernah tidur malam. Setelah subuh barulah dia tidur. Ketika ditanyai oleh teman-temannya, jawabannya galau. Teman-temannya menganggap Cindy banyak masalah di rumahnya. Ketika ditanya oleh orang rumah mengapa dia rajin begadang, jawabannya selalu "karena saya punya masalah, saya pusing". Padahal menurut keluarganya, Cindy mengisi waktu begadangnya dengan nonton drama korea atau pantengin hp terus sampai subuh.
Ketika orangtuanya masuk ICU, Cindy bisa tetap masuk kantor dengan santai! Duh, bener-bener deh kami yang tahu faktanya, sampai terheran-heran. Dia lebih memilih masuk kantor daripada izin untuk jaga menemani orangtuanya yang sedang kritis.
Kami bahkan sampai ngomong dengan keras ke Cindy "itu tuh orangtuamu di ICU lho! Kamu paham gak sih ICU itu apa? Artinya orangtuamu sedang kritis." Namun apa yang kami peroleh? Ia tidak merespon apapun. Kami hanya dicuekin. Padahal kami tahu betul orangtua Cindy sangat baik, bahkan Cindy adalah anak yang selalu dimanjakan oleh orangtuanya.
Tak cukup sampai disitu. Cindy juga sering dikritik oleh orang-orang karena gaya berpakaiannya yang kadang-kadang tidak sesuai tempat. Namun apa yang diperoleh orang-orang tersebut? Lagi-lagi hanya sikap cuek Cindy.
Banyak yang heran mengapa Cindy "tone deaf" dan se-ndableg itu? Mohon maaf mungkin kata "ndableg" agak kurang sopan, namun sepertinya itu kata yang tepat.
Hal terparah dari Cindy yaitu saat memilih kebaya wisuda, dia malah memilih baju party untuk dipakai wisuda. Entah bagaimana kelanjutan beritanya, saya kurang mengikuti. Namun mendengarnya saja, sudah cukup membuat saya terheran-heran sekaligus gemas. Tak terbayang bagaimana sabarnya kedua orangtua Cindy dan keluarga besarnya dalam menghadapi Cindy.
Secara ringkas orang yang "tone deaf" biasanya merasa dia berhak "memilih temannya". Dalam hal ini, Cindy tidak bersikap tone deaf ke 1-2 orang yang menurutnya se frekuensidengannya, yang menurutnya "mau menuruti/ mengiyakan semua kata-katanya", juga yang menurutnya di circle tersebut dia bisa jadi "pemimpin"nya.
Latar belakang lingkungan, pendidikan, pola asuh, dan banyak hal lainnya yang dialami seseorang sejak kecil hingga dewasa, turut andil dalam perkembangan kepribadian seseorang hingga akhirnya ia menjadi "tone deaf".