Mohon tunggu...
Dyah Ratna
Dyah Ratna Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Hukum Gharar dalam Transaksi Ekonomi

5 Maret 2018   23:49 Diperbarui: 6 Maret 2018   07:19 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Gharar dalam Bahasa Arab yaitu al-jahalah (ketidakjelasan) atau bisa juga disebut dengan majhul al-aqibah(tidak jelas hasilnya). Secara istilah fiqh gharar adalah hak ketidaktahuan terhadap akibat suatu perkara, kejadian/peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli, atau ketidakjelasan antara baik dan buruknya. Pengertian gharar secara umum dapat disimpulkan yaitu semua bentuk jual beli yang didalamnya mengandung unsur-unsur ketidakjelasan. Dari semuanya menghasilkan yang tidak pasti terhadap hak dan kewajiban dalam suatu transaksi/jual beli.

Gharar dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

  1. Jual beli barang yang belum ada (ma'dum).

Tidak/belum adanya obyek pada saat melakukan akad. Misalnya yaitu menjual janin pada saat masih dikandungan hewan tanpa bermaksud untuk menjual induknya. Atau menjual janin dari janin bintang yang belum lahir dari induknya (habal al-habalah),kecuali dengan cara ditimbang atau setelah anak binatang tersebut lahir.

  1. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul).

Menjual sesuatu yang belum berada dibawah penguasaan penjual. Apabila suatu barang belum diserahterimakan pada saat jual beli, maka barang tersebut tidak dapat dijual lagi kepada orang lain.

Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Misalnya yaitu larangan untuk menjual benang wol yang masih berupa bulu yang melekat pada tubuh binatang dan juga keju yang masih berupa susu.

Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Jual beli yang dilakukan dengan tidak menyerahkan secara langsung barang sebagai obyek akad. Misalnya yaitu jual beli dengan menyerahkan barang setelah kematian seseorang. Jual beli seperti ini tidak diketahui secara pasti kapan barang tersebut akan diserahterimakan.

Tidak adanya kepastian obyek akad. Yaitu dengan adanya dua obyek akad yang berbeda didalam satu transaksi. Misalnya yaitu dalam suatu transaksi terdapat dua barang yang berbeda kriteria dan kualitasnya, kemudian ditawarkan tanpa menyebutkan barang yang mana yang akan dijual sebagai obyek.

Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Misalnya yaitu transaksi/jual beli motor dalam kondisi yang rusak.

  1. Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan

Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk ghara yang terbesar larangannya.

Tidak ada kepastian tentang jumlah yang harus dibayar. Misalnya yaitu penjual berkata : "saya jual emas kepada anda dengan harga yang berlaku pada hari ini".

Tidak adanya ketegasan dalam bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau lebih transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih sewaktu terjadi akad.

Adanya keterpaksaan. Misalnya yaitu sesorang melempar batu (bai al hasa), yaitu sesorang melempar batu pada sejumlah barang dan barang yang terkena batu tersebut wajib untuk dibelinya. Larangan tersebut berdasarkan hadist Rasulullah SAW.

Gharar dalam transaksi ekonomi, transaksi perdagangan pada umumnya mengadung resiko untung dan rugi. Hal tersebut merupakan hal yang wajar bagi setiap orang berharap untuk selalu mendapatkan keuntungan, namun belum tentu dalam menjalankan sebuah usaha akan mendapatkan keuntungan. Menurut Imam Ghazali bahwa motivasi seorang pedagang adalah sebuah keuntungan, yaitu keuntungan di dunia dan juga keuntungan di akhirat. Risiko untung dan rugi merupan kondisi yang tidak pasti dalam setiap usaha.

Islam tidak melarang suatu akad yang hanya terkait dengan risiko ketidakpastian. Hanya apabila risiko tersebut sebagai upaya untuk membuat satu pihak mendapatkan keuntungan atas pengorbanan pihak lain, maka hal tersebut ialah gharar. Yang menjadikan ghara dilarang adalah karena berkaitannya dengan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Karena hal tersebut akan mengakibatkan  kerugian terhadap orang lain. Seperti yang telah disebutkan dalam Qur'an surah An-nisa' ayat 29 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".

Hukum gharar, dasar pengambilan hukum atas segala sesuatu dalam syariat islam harus jelas bentuk dan kriterinya. Sehingga penetapannyaakan mendapatkan suatu kepastian untuk menempatkan pada tingkatan boleh ataupun tidaknya untuk dilakukan dan dapat dijadikan sandaran hukum. Hukum terhadap sesuatu didasarkan ata hasil dari persepsi tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan gharar, itu akan menentukan kedetailan kita dalam menyelesaikan masalah transaksi apa yang harus dipilih sebagai pengganti transaksi yang disyariatkan.

Jadi kesimpulan yang bisa kita ambil yaitu lebih baik kita tidak menggunakan gharar untuk mengambil keuntungan karena hal tersebut dapat merugikan pihak yang lain. hal tersebut sudah disebutkan dalam Ak-Qur'an bahwa kita tidak boleh memakan harta sesama dengan cara yang bathil atau dengan cara yang tidak baik. Tidak hanya itu saja, didalam hadistnya Rasulullah SAW juga telah melarang jual beli al-hasnah dan jual beli gharar, jual beli gharar menurut imam as-Sa'adi termasuk dalam kategori perjudian yang sudah jelas kehramannya dalam nash Al-Qur'an.

                Maka dari itu lebih baik menggunakan cara-cara yang baik untuk mengambil keuntungan agar kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Dan kedua belah pihak bisa ridha dalam melakukan transaksi tersebut. Untuk itu jangan melakukan gharar dalam mendapatkan keuntungan.

Referensi

Hosen,Nadratuzzaman. 2009. Analisi Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi. Al-Iqtishad, 5, 54-64.

Hijri Achmad. 2015. Praktir Gharar Pada Hubungan Bisnis UMKM-Eksportir Fusrnitur Di Jepara. JESTT, 2, 108-129.

Arifin, Sirajul. 2010. Gharar Dan Risiko dalam Transaksi Keuangan. Jurnal TSAQAFAH, 6, 313-334.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun