Mohon tunggu...
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM Mohon Tunggu... profesional -

Bekerja sebagai Dokter Spesialis Obgyn di Hinchingbrooke Hospital, Cambridgeshire, United Kingdom. Lulus Dokter Umum dan Spesialis Obgin dari FKUI serta Master of Health Service Management dari UNSW Sydney, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Haruskah Hidup Sang Janin Diakhiri? (Meniti Batas bag 1)

19 Januari 2014   06:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 1658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada kasus mereka, si istri sudah memiliki riwayat sekali operasi sesar. Artinya, bila melahirkan kelak, ada risiko lebih bila dibandingkan dengan perempuan yang rahimnya tidak pernah dilukai. Persalinan janin cukup bulan dengan anensefali umumnya sulit, karena struktur kepala tidak sempurna, maka persalinan bisa menjadi lama dan kadang harus melalui berbagai manuver untuk melahirkan bayi. Bagian otak bayi yang juga berperan dalam mengatur persalinan tidak ada, sehingga biasanya persalinan semakin sulit. Kondisi ini semakin  kompleks karena bekas luka di rahim ibu berisiko robek bila persalinan lama, sulit, atau menggunakan manuver-manuver tertentu. Di sisi lain, bila sampai harus melakukan operasi seksio sesar lagi, maka tentu si ibu akan menanggung risiko persalinan lebih besar, padahal bayi yang dilahirkan mungkin umurnya akan hanya beberapa jam atau hari.

Prinsip “do no harm” lah yang kami utarakan kepada mereka ketika mengajukan alternatif untuk melahirkan bayinya sekarang, saat masih kecil, mudah keluar dan risiko robekan rahim kecil sehingga aman untuk ibu. Pikir kami sebagai dokter waktu itu adalah “the risks are not worth taking for a poor prognosis baby”. Aku juga jelaskan bahwa kelainan seperti spina bifida dan anensefali biasanya disebabkan oleh kurangnya kadar dan konsumsi asam folat ibu, sehingga kehamilan berikutnya harus benar-benar direncanakan dengan baik agar tidak terulang lagi.

Tiba-tiba sambil sesenggukan, si istri memotong penjelasanku, “Saya tidak mau kehamilan saya diakhiri sekarang Dokter..!! Dokter bisa aja salah diagnosis kan..?! Saya mau merasakan bayi saya nendang-nendang di dalam perut... Saya mau gendong dan peluk bayi saya nanti kalo dia sudah lahir. Biarpun ternyata umurnya cuma sebentar, biarpun cacat dan jelek, tapi dia anak saya, Dokter...!! Biarpun saya harus sesar lagi, biarpun saya harus menanggung risiko dan mempertaruhkan nyawa saya, saya mau bayi saya tetap dipelihara dan dirawat seperti bayi normal lainnya...!!” serunya penuh emosi. Aku tertegun mendengar kalimat-kalimat pasien itu yang begitu emosional, namun sisi keibuanku secara tidak sadar setuju juga dengan sebagian kalimatnya.

Dan pasien itu masih melanjutkan, “Lagian Dokter ini manusia juga kan? Bukan Tuhan? Apa hak Dokter mengakhiri hidup bayi saya sekarang? Emangnya Dokter bisa menjamin kalo saya gugurkan kandungan sekarang, saya pasti akan bisa hamil lagi nantinya? Apa Dokter bisa pastikan, kalo saya ngikutin saran Dokter minum folat, maka pasti bayi saya nanti nggak cacat? Apa Dokter bisa...??!!” cecarnya menuntut.

Yaaaa...kami yang dokter ini jelas-jelas manusia juga. Kami tak punya kuasa apa-apa selain setitik ilmu yang kami miliki. Tak pantas kami dibandingkan dengan Tuhan, dan tak mungkin kami mendahului kuasa Nya. Sungguh ada batas yang jelas antara makhluk dan penciptaNya. Tapi terkadang, batas itu tersamar, entah karena keangkuhan manusia, atau justru karena kebodohannya...

*to be continued..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun