Di sentra ini, protokol untuk mengakhiri kehamilan agak berbeda dengan tempat lain. Umumnya, pengakhiran kehamilan dilakukan dengan membuka jalan lahir, sehingga otomatis janin akan keluar. Cara ini bisa dilakukan dengan mengkonsumsi obat-obatan yang memang akan melunakkan jalan lahir dan menciptakan kontraksi rahim sehingga janin lahir, atau pada usia kehamilan yang kecil maka cukup dilakukan pemasangan alat semacam “pessary” dan dilanjutkan dengan kuret untuk mengeluarkan hasil konsepsi. Tapi di tempat ini, mereka melakukan penyuntikan larutan KCl konsentrasi tinggi ke jantung janin dengan panduan USG, sehingga jantung janin akan berhenti berdenyut dan janin mati. Setelah janin mati, umumnya dalam beberapa hari atau minggu dia akan keluar/lahir dengan sendirinya. Terdengar sangat sadis, tapi ternyata mereka memiliki alasan tersendiri mengapa cara ini yang dipakai.
Hukum di Inggris mengatur bahwa setiap bayi yang lahir di atas usia kehamilan 23 minggu wajib mendapat resusitasi maksimal untuk tetap bertahan hidup, melibatkan fasilitas perinatologi canggih dan obat-obatan bernilai ribuan pounsterling. Jadi bila pengakhiran kehamilan dilakukan pada usia kehamilan borderline seperti itu, bayi yang lahir hidup harus mendapatkan resusitasi maksimal (padahal terminasi kehamilan diputuskan karena si bayi dinilai “tidak layak hidup” oleh orang tuanya). Maka untuk menghindari kontroversi semacam ini, sentra ini memilih untuk “mematikan” dulu si janin, sehingga saat kemudian lahir tidak perlu melanggar hukum dengan tidak melakukan resusitasi. Mungkin aku yang terlalu bodoh, sensitif, atau take it personally, tapi logika-logika semacam ini tidak bisa dicerna oleh otakku.
“What procedure will you have next?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang membuat dadaku ngilu itu. “Owh, we will put a chest shunt right after this one...” jawab kolegaku itu dengan semangat. Dia menjelaskan kasus tersebut, seorang perempuan berusia 20 tahun yang dikirim dari kota lain karena janinnya menderita cacat multipel. Didapatkan kelainan struktur pada jantung janinnya, dan belakangan didapatkan bahwa rongga dadanya terisi cairan (efusi) yang menyebabkan kedua paru-paru janin itu tidak dapat tumbuh dan berkembang sempurna. Hal ini masih ditambah dengan sebagian usus janin yang berada di luar tubuhnya (gastroschisis). Sebenarnya dicurigai bahwa kondisi ini dilatarbelakangi oleh kelainan kromosom, namun si ibu menolak melakukan pemeriksaan yang lebih invasif karena berkeras bahwa apa pun hasilnya, dia akan tetap melanjutkan kehamilannya dan menuntut perawatan maksimal untuk bayinya kelak. “Can I join you guys for that procedure”, tanyaku yang belum pernah melihat prosedur ini dikerjakan. “Why not?” jawabnya sambil melambaikan tangannya padaku mengajak masuk segera ke ruangan itu sebelum dipenuhi oleh fellow lain yang juga ingin menonton prosedur itu.
Chest shunt yang dipasang itu digunakan untuk mengalirkan cairan yang terakumulasi di rongga dada si janin ke ruang amnion, memberi kesempatan agar paru-parunya dapat berkembang. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa paru-paru yang tumbuh mnegembang dan berfungsi baik kan? Prosedur itu dilakukan sendiri oleh seorang professor yang saat itu menjabat sebagai direktur unit fetal medicine tersebut. Begitu selesai melakukan prosedur tersebut dengan panduan USG, dia menjelaskan kembali apa yang harus dilakukan oleh si pasien. Bahwa nantinya dia harus bersalin di rumah sakit ini, karena memiliki fasilitas dan sumber daya yang terbaik. Dia juga menginstruksikan seorang senior fellow untuk mengatur waktu persalinannya kelak, berkoordinasi dengan neonatologist, pediatric surgeon,pediatric cardio-thoracic surgeon, menyediakan inkubator bayi dengan ventilator khusus, dan lain sebagainya untuk menunjang kehidupan dan mengkoreksi berbagai kelainan yang diderita si bayi. Sayang aku tak tahu bagaimana nasib si bayi setelah dilahirkan kemudian, tapi setidaknya aku merasa bekerja dengan para dokter (yang memang niatnya menolong dan menyelamatkan nyawa, bukan menghilangkan nyawa). Meski kemungkinan bayi itu bisa bertahan hidup dengan berbagai cacat organ vital yang dideritanya relatif kecil, toh usaha “ngeyel” mereka patut diacungi jempol.
Ketika dulu aku melafalkan sumpah dokter ini, tak pernah terbayang ternyata memang sangat berat mengemban dan merealisasikan isinya. Apalagi ketika menemui kasus-kasus yang berada pada “grey-area” yang ternyata sangat banyak di dunia kedokteran, termasuk bidang obstetri dan ginekologi yang kudalami.
Flashback:
Siang itu suasana Poliklinik Obstetri hampir mirip Bursa Efek Jakarta saat IHSG naik dan para pialang riuh rendah berusaha menjual saham, panas dan berisik... Bedanya mungkin di BEJ, udara ruangan tetap dingin karena air conditioner berfungsi sebagaimana mestinya. Poli hari ini begitu panas karena jumlah pasien dan kapasitas ruangan sungguh tidak sesuai, ditambah lagi air conditioner di semua ruangan mogok bekerja akibat usia tua tanpamaintenance semestinya. Kumpulan ibu-ibu hamil dengan metabolisme berlipat yang menghasilkan ekstra panas juga berkontribusi menambah parahnya suasana, belum lagi mungkin banyak di antaranya yang tidak sempat mandi di pagi hari karena harus menembus kemacetan dan antri pagi-pagi sebelum loket pendaftaran dibuka.
“Mbak, konsul dong...”, tegur seorang juniorku memecah konsentrasiku yang sedang tekun menulis resume-resume pasien ginekologi untuk dikirim operasi. “Kenapa?”, tanyaku sambil melipat rekam medis di hadapanku dan bangkit dari duduk mengikuti juniorku itu ke ruang periksanya. “Pasienku hamil 16 minggu, anensefali, tapi dia menolak diterminasi Mbak,” jelasnya singkat sambil membuka pintu ruang periksa.
Di dalam ruang periksa, sudah menanti sepasang suami istri yang tampak galau dan bingung. Mereka sudah menikah selama 5 tahun, sang istri sudah pernah 2x hamil sebelumnya. Kehamilan pertamanya berakhir dengan keguguran pada usia kehamilan 14 minggu. Kemudian kehamilan keduanya diakhiri dengan operasi sesar karena bayinya menderita spina bifida, suatu kelainan di mana terdapat gangguan pembentukan saraf-saraf dan tulang belakang. Rencananya si bayi akan dirujuk setelah dilahirkan secara sesar ke rumah sakit yang bisa melakukan operasi koreksi spina bifida itu, namun sayang, belum sempat dirujuk, si bayi meninggal karena sepsis (infeksi menyeluruh yang menyebabkan kegagalan berbagai organ). Dan di kehamilan yang ketiga ini, pasien itu dirujuk ke tempat kami karena didapatkan janinya menderita anensefali (suatu kondisi di mana sebagian besar otak dan tempurung tengkorak tidak terbentuk, merupakan kelainan yang bersifat letal atau mematikan karena manusia tidak mungkin hidup tanpa otak). USG konfirmasi di tempat kami juga setuju dengan pemeriksaan USG perujuk sebelumnya, bahwa janin yang dikandung pasien itu memang menderita anensefali.
“Bagaimana kabarnya Pak, Bu,... “ sapaku sambil tersenyum ramah kepada mereka, berusaha mencairkan suasana. Bukan menjawab sapaanku, sang istri malah mulai menangis terisak-isak dan si suami mulai salah tingkah sibuk menenangkan istrinya. “Dokter, memangnya ga ada cara ya nolong anak saya? Emang ga bisa dioperasi gitu otaknya nanti kalo udah lahir? Kenapa mesti dilahirin sekarang aja? Tolong diusahakan Dokter, kami udah nunggu bertahun-tahun untuk bisa punya anak yang sehat...” berondong si suami sambil merangkul istrinya yang masih terisak-isak.
Dengan sangat berempati aku berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa kelainan seperti ini tidak bisa dikoreksi, pengetahuan dunia kedokteran belum sampai bisa menumbuhkan otak yang tidak terbentuk seperti pada janin mereka. Kalaupun si janin tetap hidup di dalam kandungan sampai cukup bulan, saat setelah dilahirkan nanti, ketika dia harus mandiri mengatur sistem penunjang kehidupannya seperti pernafasan dan jantung (yang semua tentu harus diatur oleh otak), maka tidak lama biasanya bayi akan meninggal juga.