Mohon tunggu...
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM Mohon Tunggu... profesional -

Bekerja sebagai Dokter Spesialis Obgyn di Hinchingbrooke Hospital, Cambridgeshire, United Kingdom. Lulus Dokter Umum dan Spesialis Obgin dari FKUI serta Master of Health Service Management dari UNSW Sydney, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Haruskah Hidup Sang Janin Diakhiri? (Meniti Batas bag 1)

19 Januari 2014   06:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 1658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”...

Sepenggal kalimat di atas adalah salah satu butir dari naskah Sumpah Dokter yang wajib diucapkan oleh setiap lulusan pendidikan dokter di Indonesia. Diinspirasi dari Hippocrates Oath, yang kemudian juga diratifikasi dari Deklarasi Jenewa pada tahun 1948, kalimat asli yang dipopulerkan lebih dari 2.500 tahun yang lalu itu berbunyi, “I will not give a woman a destructive pessary”. Kalimat ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara berbeda-beda di seluruh belahan dunia.

Bagi kelompok yang menamakan dirinya “pro-life”, kalimat tersebut merupakan argumen bahwa tindakan aborsi, atau terminasi/pengakhiran kehamilan sebelum waktunya adalah suatu tindakan yang melanggar sumpah profesi. Di sisi lain, mereka yang menyebut dirinya “pro-choice” menginterpretasikan kalimat ini dengan konteks yang berbeda. Jaman Hippocrates hidup, tindakan aborsi dibolehkan secara hukum. Namun tindakan melakukan aborsi menggunakan “pessary” (alat atau bahan yang dimasukkan ke dalam vagina dan leher rahim untuk membuka jalan lahir secara paksa) ternyata menimbulkan banyak komplikasi yang mengancam nyawa perempuan waktu itu. Jadilah mereka melakukan tindakan aborsi dengan menggunakan ramuan obat Yunani kuno yang dimakan atau diminum secara oral, dan melarang penggunaan “pessary”.

Bukan hanya sekedar menjadi isu politik saat kampanye di hampir setiap negara, masalah aborsi atau terminasi kehamilan ini juga merupakan isu etikolegal yang tak kunjung habis dibahas. Sepanjang pendidikan dokterku di Indonesia, kami menerima bahwa tindakan aborsi adalah tindakan melanggar hukum (juga agama, norma sosial, serta budaya), kecuali pada beberapa kondisi tertentu di mana kehamilan dapat mengancam nyawa perempuan. Namun di Inggris, negara tempat tinggalku sekarang, aborsi atau terminasi kehamilan sebelum usia kehamilan 24 minggu legal secara hukum bila memenuhi syarat-syarat berikut ini : terdapat alasan/kondisi personal, kehamilan tersebut mengancam kesehatan/nyawa perempuan, atau janin yang dikandung menderita cacat bawaan. Pada praktiknya, setiap perempuan berhak atas layanan “termination of pregnancy” (TOP) bila memutuskan ingin mengakhiri kehamilannya sebelum usia 24 minggu, dengan alasan apa pun. Di sisi lain, bila seorang perempuan memutuskan untuk melanjutkan kehamilannya, bahkan bila mengancam kesehatannya atau janin yang dikandungnya menderita defek atau cacat bawaan berat, maka NHS (National Health Services, sistem pelayanan kesehatan di Inggris) berkewajiban untuk menjamin layanan kesehatan yang memadai selama kehamilan, persalinan, dan tumbuh kembang si bayi kelak (tentu dengan beberapa perkecualian).

Di negara ini, diagnosis pre-natal untuk menapis kelainan atau cacat bawaan janin dikerjakan begitu agresif dan menjadi bagian dari layanan rutin kehamilan (tentu semuanya gratis). Bila ditemukan kondisi janin yang diperkirakan akan menyebabkan kecacatan atau kelak dia tidak akan bisa hidup mandiri, dan si perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya, maka layanan TOP siap melakukan tugasnya. Salah satu alasan pemerintah menyediakan anggaran begitu besar untuk layanan diagnosis pre-natal ini ternyata adalah karena anggaran yang harus mereka sediakan untuk memberikan layanan bagi anak-anak yang terlahir dengan kondisi “istimewa” ini ternyata jauh lebih besar lagi. Lain halnya di Indonesia yang umumnya semua harus “out of pocket” sendiri, maka orang tualah yang harus memikirkan semua hal tersebut sendiri.

Selama 6 minggu aku berkesempatan melakukan “clinical attachment” di suatu sentra pre-natal diagnostic and fetal medicine yang berlokasi di ibu kota negara ini tahun lalu, aku menyaksikan sendiri bagaimana mereka begitu agresif melakukan diagnosis pre-natal. Tempat ini merupakan sentra layanan kesehatan yang sangat terkemuka, menerima rujukan pasien bukan hanya dari seantero Inggris, namun juga dari negara-negara Eropa daratan, untuk diagnosis pre-natal maupun prosedur invasif intra uteri (pembedahan terhadap janin di dalam kandungan ibunya). Dokter yang mendalami bidang ini juga datang dari berbagai belahan dunia untuk belajar di tempat itu.

Pagi itu aku memilih belajar di ruangan “twin scan” dari 12 ruangan USG dan prosedur yang ada. Umumnya satu ruangan diisi oleh seorang senior clinical fellow, seorang junior clinical fellow, dan satu observer seperti diriku. Setiap ruangan sudah memiliki daftar pasien yang akan datang di hari itu, dan di ruangan “twin scan” setiap pasien dialokasikan waktu sekitar 45 menit untuk pemeriksaan USG yang sangat mendetail.  Konsultan harian yang bertanggung jawab akan stand-by di ruangannya, siap memberi bantuan bila terdapat kesulitan.

Setelah pasien kelima selesai diperiksa, aku berniat keluar ruangan untuk mencari udara segar (dan mengistirahatkan mata karena di dalam ruang pemeriksaan lampu harus dimatikan dan pemanas ruangan beroperasi maksimal). Di tempat ini, tidak dikenal istilah “lunch-break”, apalagi “morning coffee or tea-break”. Bila kaki pegal karena seharian harus berdiri dan perut lapar karena sampai jam 7 malam tidak sempat makan, maka itu dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk bisa belajar. Namun posisi observer sepertiku tentu lebih fleksibel karena tidak dibebani tanggung jawab pelayanan, sehingga biasanya bila merasa hipoksia di dalam ruang pemeriksaan, aku dan para observer lainnya atauclinical fellow akan keluar dan mencari udara segar di gang yang memisahkan ruang pemeriksaan satu dan lainnya.

Begitu aku keluar, seorang sejawat junior clinical fellow baru dari Brazil berpenampilan seperti aktor telenovela juga sedang keluar dan menutup pintu dengan tulisan “invasive room” tepat di depan ruanganku. “Hi...” sapanya, dan sambil mengambil posisi berdiri yang nyaman di gang, dia melanjutkan, “Will we have some interesting procedures today?” tanyanya. “Hi..” jawabku sambil tersenyum, “I guess so. We’ll have one laser procedure for twin to twin transfusion syndrome case and one balloon removal on diaphragmatic hernia case” jawabku. “Good...” jawabnya sambil tersenyum senang. “Guess what is happening in there now”, katanya sambil menunjuk ke arah ruangan dengan papan bertuliskan “invasive room” tempat dia sebelumnya berada tadi. “How should I know...” jawabku sambil mengangkat bahu.  “Well, you should know why they sent me out of the room..” jawabnya sambil nyengir penuh kemenangan.

Di sini, sebisa mungkin setiap fellow mendapat paparan terhadap berbagai kasus dan tindakan sebanyak mungkin. Artinya, bila ada tindakan yang dilakukan dengan seminimal mungkin orang yang terlibat, berarti prosedur itu pasti terminasi kehamilan. Pada prosedur ini, biasanya hanya boleh dihadiri oleh si pasien dan pendampingnya, fellow yang melakukan prosedur itu, serta konsultan yang bertanggung jawab. Sisanya akan diminta keluar dari ruangan dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut biasanya sangat emosional bagi pasien (padahal bila aku ada di situ, tentu juga akan menjadi sangat emosional dan personal bagiku).

Sejawat fellow tadi kemudian menceritakan pasien yang sedang menjalani prosedur di dalam ruangannya. Seorang perempuan yang hamil anak pertama, dan dari pemeriksaan “screening” atau penapis, didapatkan bahwa risiko janin yang dikandungnya itu menderitaDown Syndrome cukup besar, 1 : 20. Belum lagi ditambah bahwa dari pemeriksaan USG,nasal bone (tulang hidung) nya tidak ditemukan padahal usia kehamilannya sudah hampir 23 minggu, walaupun tidak ditemukan kelainan struktur anatomi yang lain. Sentra ini memiliki program komputer sendiri (dan juga digunakan di seantero Inggris) untuk menghitung risiko tersebut yang mengkombinasikan hasil pemeriksaan beberapa kadar hormon dalam darah ibu dan beberapa parameter pemeriksaan USG. Down Syndromesebenarnya bukan kelainan yang letal (mematikan) bagi janin, tergantung dari varian mana yang diderita janin, biasanya bayi yang lahir nantinya akan menderita keterbelakangan mental, gangguan pada beberapa organ, gangguan tumbuh kembang, dan lain sebagainya. Singkatnya, walaupun sebenarnya semua hasil pemeriksaan itu sudah ada sejak beberapa minggu lalu, si pasien menolak untuk dilakukan tindakan diagnosis invasif untuk mengambil sel janin dan melakukan studi kromosom untuk membuktikan apakah memang si janin menderita Down Syndrome. Pasien itu kemudian menghilang, dan baru kembali kontrol dengan keputusan ingin mengakhiri kehamilannya sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun