Dalam evaluasi 12 jam kemudian sampai pagi harinya, kami mendapatkan bahwa respon tubuh gadis itu terhadap terapi yang diberikan tidak begitu baik. Berbagai parameter infeksi semakin memburuk, pertanda bahwa sumber infeksi tidak juga terkendali. Kami berdiskusi dengan teman sejawat Bedah Digestif, dan sama-sama sepakat bahwa mungkin terjadi cedera organ lain seperti usus akibat tindakan aborsi tak aman tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan operasi, membuka perut gadis itu dan melihat apa yang terjadi di dalam. Konsekuensinya, semua organ yang menyebabkan infeksi harus diangkat dan dibuang karena ternyata antibiotik tidak berdaya mengontrol infeksi yang terjadi. Bila tidak dilakukan kontrol sumber infeksi yang adekuat, maka kegagalan semua organ yang vital dalam menunjang kehidupan menjadi taruhannya. Di sisi lain, melakukan operasi besar dalam kondisi yang buruk seperti ini adalah tindakan yang sangat berisiko.
Saat menjelaskan kondisi gadis tersebut kepada kedua orang tuanya, si Ibu menangis terisak-isak dan si Ayah menunduk dengan raut yang menunjukkan penyesalan yang sangat dalam. Tindakan melakukan pengguguran kehamilan saja merupakan tindakan melanggar hukum di Indonesia, apalagi dalam kasus ini terjadi komplikasi mengancam nyawa. Bila memang terjadi cedera usus, kami akan harus memotong dan membuang bagian usus tersebut. Bila ternyata sumber infeksi adalah si rahim, maka kami harus membuang rahimnya. Pilihan yang sulit, terlebih melakukannya pada seorang anak berusia 15 tahun yang bahkan belum mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.
Akhirnya setelah diskusi yang panjang, kedua orang tuanya menyetujui rencana kami. Dengan persiapan ekstra, kami melakukan operasi segera sebelum kondisi gadis itu semakin memburuk. Benar saja, saat perutnya dibuka, kondisi rahimnya sangat mengenaskan. Rahimnya membesar seperti hamil 16 minggu dengan warna kehitaman dan mengeluarkan bau yang membuat perut mual. Untungnya seluruh organ lainnya utuh, tak terdapat cedera organ. Setelah berkonsultasi sana-sini, kami memutuskan untuk mengangkat rahim gadis itu dengan pertimbangan menyelamatkan nyawanya. Itu adalah rekor untukku dalam hal usia termuda yang kuangkat rahimnya.
Gadis itu kemudian membaik dalam perawatan selanjutnya dan tampaknya belum juga paham konsekuensinya ketika dijelaskan bahwa dirinya sudah tak memiliki rahim lagi. Sebuah harga yang sangat mahal untuk sebuah perilaku tak bertanggung jawab tanpa pikir panjang seperti itu. Namun demikian, dia masih beruntung tidak menjadi bagian dari 50.000 orang yang mati setiap tahunnya akibat "unsafe abortion" di seluruh dunia.
Kurasa, itulah mengapa aku begitu mencintai bidang ini. Aku berkesempatan untuk melihat "kisah" lain di balik cerita kehidupan tiap pasienku. Aku banyak mendapat pelajaran kehidupan dari pasien-pasienkuku, belajar bersyukur dengan yang kupunya, dan belajar menghargai segala sesuatu yang kudapat sekecil apa pun itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H