Mohon tunggu...
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM Mohon Tunggu... profesional -

Bekerja sebagai Dokter Spesialis Obgyn di Hinchingbrooke Hospital, Cambridgeshire, United Kingdom. Lulus Dokter Umum dan Spesialis Obgin dari FKUI serta Master of Health Service Management dari UNSW Sydney, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Mahkota Perempuan

22 Desember 2013   18:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

HPP, hemorragic post partum, atau perdarahan pasca persalinan adalah pembunuh nomor satu perempuan Indonesia yang meninggal akibat komplikasi  kehamilan dan persalinan. Penyebab tersering perdarahan pasca persalinan adalah kontraksi rahim yang tidak adekuat (atonia) setelah bayi lahir, menyebabkan aliran darah ke rahim tidak dapat dihentikan dan dalam hitungan menit seorang perempuan bisa kehabisan darah.

Teriakan "HPP" adalah alarm utama bagi kami residen obgin. Tanpa dikomando, tim jaga langsung berlari ke ruang akut membawa semua peralatan resusitasi dan obat-obatan yang diperlukan. Pasien yang baru datang itu adalah seorang nyonya berusia 23 tahun, yang sejam lalu baru melahirkan seorang bayi laki-laki pertamanya melalui persalinan normal di bidan dekat rumahnya. Proses persalinan berjalan cukup lama, namun akhirnya lahir juga bayi dengan berat 3800 gram itu. Setelah plasentanya lahir, bidan yang membantu persalinannya panik karena darah tidak kunjung berhenti mengalir dari jalan lahirnya.

Residen jaga akut segera berkicau melaporkan kondisi pasien itu, "kesadaran somnolen,airway bebas, nafas 16x per menit, nadi 130x per menit lemah, tekanan darah 70/40, kontraksi uterus (rahim) jelek, perdarahan aktif merembes...".  Serentak perawat dan bidan jaga memasang sungkup oksigen dan 2 akses vena untuk resusitasi cairan, simultan dengan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan permintaan komponen darah ke PMI. "Syok hipovolemik karena HPP" seruku, "eksplorasi kemungkinan penyebab perdarahan lain selain atonia dan siapkan kamar operasi..!!". Sementara kolegaku yang lain sibuk melakukan kompresi bimanual untuk menekan rahim agar berkontraksi dan memasukkan obat-obatan yang diharapkan mampu memperbaiki kontraksi rahim.

Beberapa menit kemudian kami menyimpulkan bahwa memang penyebab HPP perempuan tersebut adalah atonia, dan tidak terdapat perbaikan kontraksi setelah dilakukan kompresi maupun pemberian obat-obatan. Tidak ada jalan lain, dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil dan perdarahan aktif terus mengalir, kami harus melangkah ke kamar operasi. Risiko operasi sangat tinggi, pasien bisa meninggal di atas meja operasi dengan kondisi buruk seperti saat ini. Namun bila tidak dilakukan, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak.

Didampingi kolegaku dari Anestesi, kami berbicara dengan suami dan beberapa anggota keluarga dekat pasien itu. Kami jelaskan kondisinya saat ini sangat kritis, dan satu-satunya cara menyelamatkannya adalah menghentikan perdarahan yang terjadi. Cara optimal menghentikan perdarahan saat ini adalah melakukan operasi untuk mengangkat rahimnya yang menjadi sumber perdarahan dan mengikat seluruh pembuluh darah yang menuju rahim agar darah tidak bocor keluar terus-menerus.

Ruangan tempat kami berbicara seketika hening setelah penjelasanku berakhir. Sang suami menatapku dengan tatapan kosong. Anggota keluarga yang lain mulai terisak-isak. Sementara juniorku di luar ruangan sudah tak sabar menanti keputusan, apakah sang suami mengijinkan atau tidak. Kami tidak bisa memulai operasi tanpa ijin sang suami, padahal setiap detik berlalu dengan sekian tetes darah terbuang percuma.

Jarum jam seakan bergerak sangat lambat sampai akhirnya terbuka juga mulut pria malang itu, "lakukan yang terbaik Dokter...Saya mohon, selamatkan istri saya...Jangan biarkan bayi kami kehilangan ibunya..." ujarnya terbata dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak, "insha Allah pak, doakan...Hanya Allah yang berhak menentukan nasib hamba-Nya."

Setelah itu waktu seakan berlari. Kami berhasil mengontrol perdarahan setelah mengangkat rahim dan mengikat beberapa pembuluh darah. Komponen darah dari PMI datang tepat pada waktunya untuk mengganti darah yang sudah keluar sebelumnya. Perempuan itu akhirnya stabil dalam perawatan di ICU pasca operasi. Aku teringat kata-kata bijak salah seorang guruku "lebih baik hidup tanpa uterus, daripada mati membawa uterus...".

Namun kisah kehilangan rahim perempuan yang satu ini menurutku adalah yang paling tragis. Sore itu kami baru saja "operan" jaga, perpindahan dari tim jaga satu ke tim jaga lainnya. Pasien saat itu membanjir bagai air bah, sehingga suasana IGD tak ubahnya pasar malam. Sepasang suami istri setengah baya tampak keluar dari pintu lift yang terbuka diikuti dengan seorang petugas yang mendorong brankar dengan seorang gadis belia tergolek lemah di atasnya.

Karena tampak begitu lemah, kami segera memprioritaskan gadis itu untuk ditangani terlebih dahulu. Setelah melakukan pemeriksaan awal dan melakukan stabilisasi, kami menyimpulkan bahwa gadis itu menderita infeksi berat yang menyebabkan respon sistemik buruk dan terdapat ancaman kegagalan kardiovaskular karenanya, syok sepsis istilah kami. Untuk memastikan dari mana sumber infeksinya, kami menggali informasi lebih dalam lagi kondisi pasien itu. Gadis itu baru berusia 15 tahun, duduk di kelas 3 SMP. Sekitar 2 minggu yang lalu, kedua orang tuanya memergoki bahwa anak keduanya itu ternyata hamil akibat hubungan "kebablasan" dengan pacarnya. Setelah ketahuan hamil, si pacar menghilang tak ketahuan rimbanya. Kedua orang tuanya panik, terlebih  si anak kemudian mogok sekolah karena malu dan khawatir kondisinya diketahui teman-temannya.

Entah dengan pertimbangan apa dan informasi dari siapa, si ayah akhirnya memutuskan untuk membawanya ke sebuah klinik di daerah utara Jakarta untuk mengakhiri kehamilan anaknya. Tidak jelas prosedur macam apa yang dilakukan di sana untuk mengeluarkan calon manusia tersebut. Si ayah juga mengaku tidak bertemu langsung dengan "dokter" yang menggugurkan kandungan anaknya tersebut. Singkat cerita, kami mencurigai sumber infeksi gadis ini berasal dari rahimnya, besar kemungkinan telah dilakukan aborsi tidak aman dengan prosedur tidak steril. Karena kondisi hemodinamiknya yang tidak stabil, akhirnya pasien itu dikirim ke ICU untuk perawatan dengan observasi ketat dan antibiotika generasi terbaru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun