**Tidak Semua yang Kuinginkan Harus Kudapatkan**Â Â
Pagi itu, hujan turun dengan lembut, menciptakan ritme pelan di atas genting. Di sudut kamar kecilnya, Amira duduk dengan segelas teh yang sudah dingin. Matanya tertuju pada kalender di dinding. Tanggal hari ini dilingkari tinta merah---hari yang seharusnya menjadi awal dari impiannya. Â
Tiga bulan lalu, Amira memasukkan lamaran beasiswa ke universitas ternama di luar negeri. Ia menghabiskan malam-malam panjang mempersiapkan dokumen, menulis esai, dan belajar untuk wawancara. Segalanya ia jalani dengan harapan yang besar, bahkan terlalu besar. Dalam pikirannya, ia yakin ini adalah jalannya. Â
Namun, kemarin sore, sebuah email singkat menghancurkan semuanya. Â
"Sayang sekali, lamaran Anda belum memenuhi kriteria..."Â Â
Amira membacanya berulang kali, berharap ada kesalahan. Tapi tidak ada yang berubah. Ia ditolak. Â
Hari itu ia duduk diam, membiarkan rasa kecewa merasukinya. Amira tak menangis, tetapi hatinya terasa kosong. Ia menghindari telepon dari ibunya, pesan-pesan teman yang menanyakan kabar, dan suara dunia luar yang terasa seperti ejekan. Â
"Kau terlalu yakin, Amira," gumamnya pada diri sendiri. "Harapan yang terlalu tinggi selalu berakhir menyakitkan."Â Â
Ia berdiri, berjalan menuju jendela, dan menatap hujan yang terus turun. Dalam pikirannya, ia membayangkan hidupnya di universitas itu---perpustakaan besar, teman-teman dari berbagai negara, dan masa depan cerah yang ia rancang sendiri. Kini semua itu terasa seperti ilusi yang menghilang begitu saja. Â
Namun, di sela-sela pikirannya yang berantakan, terlintas wajah Ayah. Â
Amira teringat percakapan mereka beberapa bulan lalu. "Nak, Ayah bangga sama kamu, apapun hasilnya nanti," kata Ayah saat itu. Â
"Tapi Ayah, aku harus dapat beasiswa ini. Kalau tidak, aku gagal."Â Â
Ayah hanya tertawa kecil. "Amira, hidup bukan soal mendapatkan semua yang kamu inginkan. Kadang, yang kamu kira baik belum tentu yang terbaik untukmu. Jangan memaksa hidup berjalan sesuai kehendakmu. Ikhlaslah."Â Â
Kata-kata itu ia abaikan waktu itu. Tapi kini, dalam keheningan kamar, kalimat Ayah terasa seperti tamparan yang lembut. Â
Amira menghela napas panjang. Ia tahu ia tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Ia tahu ia kecewa, tapi ia juga sadar bahwa hidup tidak berhenti di satu pintu yang tertutup. Â
Sore harinya, ia akhirnya mengangkat telepon dari Ibu. Â
"Bagaimana, Nak? Sudah ada kabar?" suara Ibu terdengar hati-hati. Â
Amira tersenyum kecil, meski Ibu tak bisa melihatnya. "Belum rezeki, Bu."Â Â
Ada jeda di seberang. "Tidak apa-apa, Nak. Kalau tidak lewat jalan ini, pasti ada jalan lain."Â Â
"Iya, Bu. Amira masih punya banyak mimpi," jawabnya, kali ini dengan keyakinan yang lebih tulus. Â
Hujan mulai reda, dan di langit, matahari kembali muncul dari balik awan. Amira menatap ke luar jendela, merasakan kehangatan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya. Â
Ia mungkin tidak mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi ia tahu, hidup masih penuh dengan peluang. Tidak semua yang ia inginkan harus ia dapatkan, dan itu tidak apa-apa. Karena hidup selalu punya rencana lain, seringkali yang jauh lebih indah dari apa yang ia bayangkan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H