"Tapi Ayah, aku harus dapat beasiswa ini. Kalau tidak, aku gagal."Â Â
Ayah hanya tertawa kecil. "Amira, hidup bukan soal mendapatkan semua yang kamu inginkan. Kadang, yang kamu kira baik belum tentu yang terbaik untukmu. Jangan memaksa hidup berjalan sesuai kehendakmu. Ikhlaslah."Â Â
Kata-kata itu ia abaikan waktu itu. Tapi kini, dalam keheningan kamar, kalimat Ayah terasa seperti tamparan yang lembut. Â
Amira menghela napas panjang. Ia tahu ia tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Ia tahu ia kecewa, tapi ia juga sadar bahwa hidup tidak berhenti di satu pintu yang tertutup. Â
Sore harinya, ia akhirnya mengangkat telepon dari Ibu. Â
"Bagaimana, Nak? Sudah ada kabar?" suara Ibu terdengar hati-hati. Â
Amira tersenyum kecil, meski Ibu tak bisa melihatnya. "Belum rezeki, Bu."Â Â
Ada jeda di seberang. "Tidak apa-apa, Nak. Kalau tidak lewat jalan ini, pasti ada jalan lain."Â Â
"Iya, Bu. Amira masih punya banyak mimpi," jawabnya, kali ini dengan keyakinan yang lebih tulus. Â
Hujan mulai reda, dan di langit, matahari kembali muncul dari balik awan. Amira menatap ke luar jendela, merasakan kehangatan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya. Â
Ia mungkin tidak mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi ia tahu, hidup masih penuh dengan peluang. Tidak semua yang ia inginkan harus ia dapatkan, dan itu tidak apa-apa. Karena hidup selalu punya rencana lain, seringkali yang jauh lebih indah dari apa yang ia bayangkan. Â