**Masih Adakah Tempat Untukku Kembali**Â Â
Senja di desa kecil itu selalu menghadirkan warna yang sama: oranye kemerahan dengan siluet gunung di kejauhan. Namun, bagi Dika, pemandangan itu tak lagi menenangkan. Setelah sepuluh tahun meninggalkan rumah untuk mengejar mimpi di kota, ia kini berdiri di ambang pintu rumah masa kecilnya, bertanya-tanya apakah ia masih pantas menyebut tempat ini "rumah". Â
Pintu kayu itu sudah mulai lapuk, cat hijaunya mengelupas, tetapi ukiran sederhana di tengahnya masih sama seperti dulu. Di balik pintu itu, ia tahu ada Ibu yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat dan tangan yang bau bawang. Tapi apakah senyuman itu masih untuknya? Â
Dika menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Suara langkah-langkah kecil terdengar mendekat. Yang membukakan pintu bukan Ibu, melainkan seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun. Ia mengenakan gaun kuning kusam dan memandang Dika dengan mata penasaran. Â
"Siapa kamu, Kak?" tanyanya polos. Â
Dika tertegun. Anak siapa ini? Ia belum sempat menjawab ketika suara Ibu terdengar dari dalam rumah. Â
"Lila, siapa di sana?"Â Â
Langkah Ibu terdengar mendekat, dan sesaat kemudian sosok wanita tua itu muncul. Rambutnya sudah memutih, dan wajahnya dihiasi lebih banyak kerutan daripada yang Dika ingat, tetapi matanya masih penuh kasih sayang---setidaknya, itulah yang dulu ia kenal. Â
Mata Ibu melebar ketika melihatnya. "Dika?" suaranya bergetar. Â
"Ibu," kata Dika pelan. Â
Ada jeda panjang, seperti dunia berhenti sejenak untuk menyaksikan pertemuan ini. Â
"Ayo masuk," ujar Ibu akhirnya, dengan nada yang sulit ditebak. Â
Di dalam rumah, kenangan menyeruak dari setiap sudut: rak kayu berisi buku-buku tua, meja makan kecil di pojok, dan aroma sup ayam yang menguar dari dapur. Tapi ada sesuatu yang berubah. Ada jejak baru---mainan anak-anak di sudut ruangan, foto seorang pria asing bersama Lila di dinding. Â
Dika memberanikan diri bertanya, "Ibu... siapa mereka?"Â Â
Ibu tersenyum tipis. "Itu suami baruku, Pak Amin. Dan Lila, anak tirimu."Â Â
Jawaban itu menghantam Dika seperti angin dingin. Sepuluh tahun ia pergi, dan dalam waktu itu, kehidupan Ibu terus berjalan tanpa dirinya. Tentu saja. Hidup tidak berhenti hanya karena seseorang memutuskan pergi. Â
"Ibu, aku..." Dika mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. Ia ingin meminta maaf, ingin menjelaskan kenapa ia tak pernah pulang, tetapi lidahnya kelu. Â
Ibu menatapnya lama, lalu menghela napas. "Dika, hidup Ibu memang berubah, tapi kamu tetap anak Ibu. Rumah ini masih rumahmu, kalau kamu mau."Â Â
Dika menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara. Kata-kata Ibu sederhana, tetapi menusuk hingga ke lubuk hatinya. Ia sadar, meski semuanya telah berubah, kasih Ibu tidak pernah pergi. Â
"Terima kasih, Bu," katanya dengan suara bergetar. Â
Ibu mengangguk, lalu meraih tangan Dika dan menggenggamnya erat, seperti tak ingin kehilangan lagi. Â
Senja di luar mulai memudar, digantikan gelap malam yang dingin. Tapi di dalam rumah kecil itu, hati Dika menemukan kehangatan baru. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, ia merasa bahwa ia benar-benar pulang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H