"Ayo masuk," ujar Ibu akhirnya, dengan nada yang sulit ditebak. Â
Di dalam rumah, kenangan menyeruak dari setiap sudut: rak kayu berisi buku-buku tua, meja makan kecil di pojok, dan aroma sup ayam yang menguar dari dapur. Tapi ada sesuatu yang berubah. Ada jejak baru---mainan anak-anak di sudut ruangan, foto seorang pria asing bersama Lila di dinding. Â
Dika memberanikan diri bertanya, "Ibu... siapa mereka?"Â Â
Ibu tersenyum tipis. "Itu suami baruku, Pak Amin. Dan Lila, anak tirimu."Â Â
Jawaban itu menghantam Dika seperti angin dingin. Sepuluh tahun ia pergi, dan dalam waktu itu, kehidupan Ibu terus berjalan tanpa dirinya. Tentu saja. Hidup tidak berhenti hanya karena seseorang memutuskan pergi. Â
"Ibu, aku..." Dika mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. Ia ingin meminta maaf, ingin menjelaskan kenapa ia tak pernah pulang, tetapi lidahnya kelu. Â
Ibu menatapnya lama, lalu menghela napas. "Dika, hidup Ibu memang berubah, tapi kamu tetap anak Ibu. Rumah ini masih rumahmu, kalau kamu mau."Â Â
Dika menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara. Kata-kata Ibu sederhana, tetapi menusuk hingga ke lubuk hatinya. Ia sadar, meski semuanya telah berubah, kasih Ibu tidak pernah pergi. Â
"Terima kasih, Bu," katanya dengan suara bergetar. Â
Ibu mengangguk, lalu meraih tangan Dika dan menggenggamnya erat, seperti tak ingin kehilangan lagi. Â
Senja di luar mulai memudar, digantikan gelap malam yang dingin. Tapi di dalam rumah kecil itu, hati Dika menemukan kehangatan baru. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, ia merasa bahwa ia benar-benar pulang. Â